SuaraSurakarta.id - Ratusan warga Kota Solo sejak tiga bulan yang lalu sudah mulai menggunakan kompor listrik dari Perusahaan Listrik Negara (PLN).
Penggunaan kompor listrik ini sesuai dengan program pemerintah untuk mengkonversi tabung gas lpg 3 kg ke kompor listrik bagi warga miskin untuk menekan impor gas lpg 3 kg.
Hanya saja dalam penggunaan kompor listrik masih ada kendala-kendala dihadapi para warga.
"Awal-awal penggunaan itu listriknya sering jeglek (mati). Biasa itu kalau dihidupkan bareng sama magicom dan sanyo langsung mati," ujar warga HP 0001 RT 02 RW 03 Kelurahan Mojo, di Kecamatan Pasar Kliwon, Supriyani (42) saat ditemui, Jumat (23/9/2022).
Baca Juga:Pro Kontra Konversi Kompor Listrik: Gak Cocok Buat Masakan Indonesia?
Menurutnya, listrik di rumah itu bertegangan 900 watt dan langsung jeglek saat dinyalakan bersama-sama.
Kemudian disetting oleh PLN, dan sekarang saat digunakan bareng-bareng dengan yang lain tidak jeglek.
"Sering jeglek itu berlangsung kurang lebih satu bulan. Sekarang kalau dihidupkan bareng magicom dan pompa air tidak mati lagi," ungkap dia.
Diakuinya jika kompor listrik ini cukup membantu jika digunakan untuk memasak dalam kondisi santai atau tidak terburu-buru.
Tapi memasak yang buru-buru itu tidak bisa, karena harus menunggu panas dulu baru bisa digunakan.
Baca Juga:5 Perusahaan Dapat Cuan dari Program Kompor Induksi, Konglomerat Ikut Kecipratan
"Kalau masaknya santai tidak apa-apa. Tapi pas buru-buru, misal masakin anak mau sekolah tidak, kan harus nunggu panas dulu jadinya lama," sambungnya.
Menurutnya, pakai kompor listrik memang jika dibandingkan pakai gas. Tapi kalau pengin lebih cepat lebih enak pakai kompor gas daripada kompor listrik.
Supriyani mengatakan, penggunaan kompor listrik juga harus didukung dengan peralatan masak yang memadai.
Karena peralatannya yang digunakan harus stainless semua, wajannya harus khusus kompor induksi.
"Memang sudah dapat satu wajan dan satu panci tapi kurang komplit. Harus stainless semua, wajannya harus khusus kompor induksi," papar dia.
Warga lain, Retno Mardi Ningsih mengatakan jika penggunaan kompor listrik harus pakai alat masak khusus.
Ia pun mengakali tetap memakai kompos gas lpg 3 kg untuk memasak air. Karena kalau panci buat masak air lalu dipakai juga buat masak sayur tidak enak.
"Peralatan masak masih kurang memadai dan harus khusus, kalau pakai kompor gas semua bisa pakai. Saya masih memakai kompor gas," sambungnya.
Pakai kompor listrik, lanjut dia, lebih aman dan ramah untuk anak jika dibandingkan menggunakan kompor gas.
"Saat memasak tidak berbahaya ke anak-anak. Misal anak ikut lihat, tidak bahaya, anak usia 10 tahun bisa pakai sendiri seperti menaruh plastik sampingnya juga tidak terbakar," jelas dia.
Tapi pemakai listrik lebih cepat habis, kebetulan memakai sistem pembayaran pulsa. Jika biasanya Rp 50 ribu, bisa untuk dua minggu, sekarang hanya bisa 10 hari saja.
Sementara itu Lurah Mojo, Nurochman menambahkan jika data penerima kompor listrik hasil survey dari PLN yang menggandeng LPPM UNS.
Data awal memang campuran ada yang dari Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) ada yang diluar itu. Pada perkembangannya ada seleksi penerima.
"Terakhir hasil survey ada sekitar 121 penerima, tapi ada tambahan 60 lebih. Total sekarang yang menerima itu sekitar 174 penerima," terangnya.
Selama penggunakan kompor listrik sejauh ini belum ada laporan dari warga. Karena ini suatu proses konversi pasti ada konsekuensinya.
"Mereka yang merasakan memang ada plus minusnya. Kami sebagai pelaksana tidak bisa mengkritisi sebuah kebijakan," tegasnya.
Kontributor : Ari Welianto