Kisah dr. Radjiman, Mengabdi untuk Rakyat, dan Berjuang Mengantarkan Indonesia Merdeka

Kisah dr Radjiman dari mengabdikankan diri untuk rakyat hingga membantu Soekarno dan Hatta mengantarkan Indonesia Merdeka

Budi Arista Romadhoni
Senin, 16 Agustus 2021 | 16:19 WIB
Kisah dr. Radjiman, Mengabdi untuk Rakyat, dan Berjuang Mengantarkan Indonesia Merdeka
K.R.T. dr. Radjiman Wedyodiningrat pada 1923. (Solopos/tangkapan video YouTube dari akun Bimo K.S.)

Tak hanya itu, Radjiman terus menambah ilmu dengan belajar ilmu kebidanan dan penyakit kandungan di Berlin, Jerman, lalu kembali ke Belanda untuk belajar ilmu ronsen atau radiologi.

Rumah dr. Radjiman di Widodaren, Ngawi, Jawa Timur, tempatnya mengembuskan nafas terakhir pada 1952. Rumah ini sekarang menjadi museum. [Solopos/tangkapan video YouTube Pemkab Ngawi]

Mengabdi pada Rakyat

Dengan kepakaran ilmu kedokteran yang dikuasainya, di atas kertas Radjiman sebenarnya bisa “hidup enak” dengan menjadi pengajar kedokteran, membuka praktik dan bertugas di rumah sakit pemerintah di kota besar, atau menjadi peneliti.

Apalagi Radjiman kemudian mendapat gelar “Kanjeng Raden Tumenggung (KRT)” dan nama penyerta gelar “Wedyodiningrat” dari Kasunanan Surakarta. Nama ini sepertinya berasal dari kata dalam bahasa Sansekerta “widya” yang artinya “ilmu” atau “berilmu tinggi.”

Baca Juga:Rayakan HUT Kemerdekaan RI ke-76, Ada Pagelaran Wayang Virtual di Tokyo!

Namun Radjiman tak lupa dengan tanah tempat asalnya. Dia ikut mendirikan dan membangun Budi Utomo, organisasi perintis kesadaran nasionalisme.

Dia bahkan memimpin Budi Utomo pada 1914-1915 dan terus terlibat dalam organisasi itu hingga kemudian berubah menjadi Partai Indonesia Raya (Parindra) pada 1930-an.

Dalam status sebagai wakil Budi Utomo, Radjiman kemudian menjadi anggota Volksraad atau Dewan Rakyat, sejenis “parlemen kompromi” bentukan pemerintah Belanda pada 1918.

Radjiman juga sangat aktif di bidang kebudayaan khususnya budaya Jawa. Aneka organisasi kebudayaan Jawa menjadi tempatnya aktif berkecimpung.

Bahkan Radjiman menjadi salah satu penyambut dan pemandu saat pujangga besar India, Rabindranath Tagore, berkunjung ke Solo dan menjadi tamu pemimpin Praja Mangkunegaran, Mangkunegoro VII.

Baca Juga:10 Menu Ini Rasa Kita! ala McD Meriahkan Hari Kemerdekaan RI 2021

Radjiman juga tak berhenti mengamalkan ilmu-ilmu kedokterannya. Ketika wabah pes merajalela di Kabupaten Ngawi, Jawa Timur, pada 1934, Radjiman bahkan memutuskan untuk tinggal sepenuhnya di wilayah itu untuk mencurahkan perhatian dalam penanganan wabah.

Tak hanya itu, dia juga menggerakkan dan membina para dukun bayi di wilayah tersebut untuk meningkatkan kesehatan ibu hamil dan mencegah kematian ibu dan bayi. Di sela-sela segala aktivitasnya, Radjiman juga mengkoordinasikan upaya pendidikan bagi anak-anak di perdesaan.

Suasana sidang BPUPKI di gedung Chuo Sangi in atau Dewan Penasihat. Gedung ini sebelumnya adalah gedung Dewan Rakyat atau Volksraad di zaman kolonial Belanda, dan kini dikenal dengan nama Gedung Pancasila dan menjadi bagian dari kompleks Kementerian Luar Negeri. [Solopos/tangkapan video YouTube]

Mengantar Kemerdekaan

Ketika pemerintahan Hindia Belanda runtuh dengan masuknya Jepang, ketokohannya membuat Radjiman terpilih menjadi anggota Shu Sangi kai (Dewan Pertimbangan Daerah) Madiun. Setelah itu Radjiman diangkat pula menjadi anggota Chuo Sangi-In (Dewan Pertimbangan Pusat).

Mei 1945 ketika Jepang membentuk Dokuritsu Junbi Tyoosa-kai, Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK), Radjiman yang sudah berusia lanjut, 66 tahun, mendapat amanah sebagai ketuanya.

Sejarawan Taufik Abdullah dalam sumbangan tulisannya dalam buku 1.000 Tahun Nusantara menyebut sebagai Ketua BPUPK, Radjiman memimpin sidang-sidang dengan tegas, khususnya ketika sidang membahas hal-hal krusial seperti bentuk negara dan pemerintahan.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini

Tampilkan lebih banyak