SuaraSurakarta.id - Pariwisata Keraton Kasunanan Surakarta dinilai masih belum ramah bagi kaum disabilitas.
Hal ini disampaikan oleh beragam penyandang disabilitas usai datang ke pariwisata Keraton Kasunanan Surakarta, Senin (13/3/2023).
Kedatangan mereka untuk meninjau apakah ada akses buat penyandang disabilitas atau tidak. Mereka masuk lewat museum keraton, yang kemudian berkeliling ke area museum.
Selanjutnya mereka menuju halaman Sasana Sewaka yang berupa tanah pasir bersih.
Baca Juga:Kado Miris HUT Kota Solo: Makam Ki Gede Sala di Kawasan Keraton Kasunanan Surakarta Tak Terawat
"Kita ke sini berbagai ragam disabilitas, karena kebutuhannya berbeda-beda. Ada beberapa catatan setelah kita berkunjung ke sini," ujar Ketua Tim Advokasi Difabel (TAD) Solo, Sri Sudarti saat ditemui, Senin (13/3/2023).
Sudarti menjelaskan Keraton Kasunanan Surakarta merupakan sebagai cagar budaya dan destinasi pariwisata. Sehingga harus ada akses bagi disabilitas dan lansia juga.
"Sejauh ini ada catatan kecil juga dari awal. Kita begitu masuk belum ada disediakan fasilitas kursi roda, harusnya memang ada satu," katanya.
Keberadaan kursi roda ini bukan hanya buat disabilitas saja tapi juga lansia karena harus berjalan keliling. Tapi itu belum ada, ini nanti bisa jadi masukan buat Keraton Kasunanan.
"Kalau akses untuk kursi roda sudah lumayan bagus. Karena sudah bisa dilalui untuk pengguna kursi roda dan tongkat juga bisa," ungkap dia.
Saat keliling sampai di pelataran Sasan Sewaka yang penuh pasar, kursi roda tidak bisa masuk. Itu sempat ditanyakan alasannya kenapa, ternyata dari budayanya orang Jawa harus menapak langsung ke tanah.
"Kaki kita itu harus menapak ke tanah, sedangkan kalau kita menggunakan kursi roda kaki kita tidak menapak ke tanah. Jadi yang menapak hanya bannya saja, itu penjelasan yang disampaikan," paparnya.
Sudarti pun memberikan masukan, itu ada jalan selebar satu meter yang tidak berpasir ke arah barat. Itu bisa digunakan untuk akses kursi roda.
"Itu salah satu masukan yang kita beri, jadi pengguna kursi roda bisa," imbuh dia.
Lanjut dia, tadi juga disampaikan penyandang disabilitas tuna netra untuk guiding block tidak perlu. Kalau bisa ada audio penjelasan soal keraton dan koleksi-koleksi yang ada.
"Banyak audionya gitu, kan koleksi-koleksi di meseum tidak boleh dipegang. Kalau bisa ada miniatur koleksi sehingga bisa disentuh oleh teman-teman tuna netra," ungkapnya.
"Kebutuhan untuk teman-teman tuna netra itu harus ada visualnya," sambungnya.
Sudarti juga meminta agar guide diberi sensitivitas atau kepekaan ketika melayani pengunjung disabilitas seperti ini.
"Misalkan kalau yang tuli, maka harus berbicara pelan. Bisa juga belajar bahasa isyarat. Kita siap memberikan pelatihan bagi guide agar memiliki kepekaan," ucap dia.
Sementara itu kerabat keraton, GKR Koes Moertiyah Wandansari (Gusti Moeng) mengatakan masukan-masukan penyandang disabilitas akan diperhatikan.
"Kita akan perhatikan masukan-masukan itu. Ke depan akan kita permudah untuk akses disabilitas," terangnya.
Tapi yang perlu disampaikan itu, lanjut dia, bahwa di keraton itu lambang sama rata sudah ada dari dulu. Karena yang penyandang disabilitas justru didekatkan sekali dengan Sinuhun (raja keraton).
"Jadi mereka itu benar-benar diperhatikan waktu keraton sebagai pusat pemerintahan. Tidak ada istilahnya perbedaan, bahkan tahun 1980 an itu ada abdi dalem yang difabel ahli reparasi naskah kuno," papar dia.
Terkait kursi tidak diperbolehkan masuk ke pelataran Sasana Sewaka, secara aturan adatnya belum bisa memberikan penjelasan. Tapi kursi roda itu dianggap sebagai kendaraan dan kendaraan itu tidak boleh masuk.
"Tapi nanti kedepannya kita akan memikirkan itu juga. Apalagi pemerintah sekarang ini sangat memperhatikan penyandang disabilitas, mungkin nanti bisa ikut memfasilitasi untuk itu," jelasnya.
Kontributor : Ari Welianto