"Kebutuhan untuk teman-teman tuna netra itu harus ada visualnya," sambungnya.
Sudarti juga meminta agar guide diberi sensitivitas atau kepekaan ketika melayani pengunjung disabilitas seperti ini.
"Misalkan kalau yang tuli, maka harus berbicara pelan. Bisa juga belajar bahasa isyarat. Kita siap memberikan pelatihan bagi guide agar memiliki kepekaan," ucap dia.
Sementara itu kerabat keraton, GKR Koes Moertiyah Wandansari (Gusti Moeng) mengatakan masukan-masukan penyandang disabilitas akan diperhatikan.
Baca Juga:Kado Miris HUT Kota Solo: Makam Ki Gede Sala di Kawasan Keraton Kasunanan Surakarta Tak Terawat
"Kita akan perhatikan masukan-masukan itu. Ke depan akan kita permudah untuk akses disabilitas," terangnya.
Tapi yang perlu disampaikan itu, lanjut dia, bahwa di keraton itu lambang sama rata sudah ada dari dulu. Karena yang penyandang disabilitas justru didekatkan sekali dengan Sinuhun (raja keraton).
"Jadi mereka itu benar-benar diperhatikan waktu keraton sebagai pusat pemerintahan. Tidak ada istilahnya perbedaan, bahkan tahun 1980 an itu ada abdi dalem yang difabel ahli reparasi naskah kuno," papar dia.
Terkait kursi tidak diperbolehkan masuk ke pelataran Sasana Sewaka, secara aturan adatnya belum bisa memberikan penjelasan. Tapi kursi roda itu dianggap sebagai kendaraan dan kendaraan itu tidak boleh masuk.
"Tapi nanti kedepannya kita akan memikirkan itu juga. Apalagi pemerintah sekarang ini sangat memperhatikan penyandang disabilitas, mungkin nanti bisa ikut memfasilitasi untuk itu," jelasnya.
Kontributor : Ari Welianto