SuaraSurakarta.id - Kecemasan akibat pandemi COVID-19 yang terjadi hampir tiga tahun tak bisa dihindarkan. Hal itu tentu saja membuat kehidupan menjadi terganggu.
Rasa cemas, khawatir hingga meningkatkan kadar stres dirasakan sebagian orang. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat, pada tahun pertama pandemi, prevalensi global kecemasan dan bahkan depresi meningkat masif 25 persen.
Ini terkait isolasi sosial yang menyebabkan orang-orang terkendala melakukan kegiatan sehari-harinya dan mencari dukungan dari pihak tercinta.
Kesepian, ketakutan terkena infeksi, kematian orang yang dicintai dan kekhawatiran pada masalah keuangan juga menjadi pemicu stres yang mengarah pada kecemasan dan depresi. Di antara petugas kesehatan, kelelahan memicu pemikiran bunuh diri.
Baca Juga:Update COVID-19 Jakarta 19 Agustus: Positif 2.217, Sembuh 2.288, Meninggal 5
Dosen Fakultas Psikologi Universitas Indonesia Sali Rahadi Asih mengatakan munculnya sederet masalah ini karena masyarakat awalnya tidak tahu cara menghadapi COVID-19.
Tubuh mereka juga belum membentuk imunitas melawan penyakit akibat infeksi SARS-CoV-2 itu. Belum lagi, berita-berita kematian di berbagai media turut menambah stres.
Mereka yang stres dan cemas lalu terganggu pola tidurnya. Untuk bisa tidur, orang harus berada dalam kondisi tenang. Berbagai cara bisa dilakukan untuk menciptakan kondisi tenang salah satunya membuat kamar nyaman. Tetapi, rasa cemas dan stres menghancurkan segala upaya untuk bisa tidur.
Tak adanya batas atau boundary management saat bekerja dari rumah (work from home atau WFH) turut menjadi penyebab masalah tidur bagi sebagian orang. Sebelum pandemi, orang-orang memiliki batas-batas jelas antara kehidupan personal dan profesional.
Perjalanan dari rumah ke kantor dan sebaliknya sedikit banyak berperan sebagai batas ini. Selama perjalanan ke kantor, orang-orang bersiap dengan kondisi bekerja sehingga meninggalkan urusan di rumah sementara waktu. Begitu juga saat kembali ke rumah. Orang-orang bersiap menghadapi kondisi rumah dan menyimpan urusan pekerjaan.
Baca Juga:Gibran Kembali Positif Covid-19, Dinkes Solo Akui Kasus Covid-19 sedang Meningkat
Jam kerja juga berlaku secara jelas. Tetapi saat pandemi, pekerjaan atau rapat yang dapat dikerjakan secara daring dapat berlangsung sampai malam hari. Ini membuat tubuh selalu dalam kondisi siaga.
Ini membuat semuanya campur aduk dan membuat orang-orang selalu on dan sulit tidur. Kemudian bagi mereka yang sudah memiliki kepribadian pencemas, tidurnya menjadi lebih bermasalah, kata Sali.
Masalah tidur terus menerus atau insomnia terbagi menjadi beberapa tipe yakni sulit tidur, terus bangun di malam hari dan bangun terlalu pagi. Biasanya masalah dimulai dari sulit tidur lalu semakin lama berkembang ke tipe lain.
Dosen Fakultas Psikologi Universitas Tarumanegara sekaligus psikoterapis Sandi Kartasasmita sependapat dengan Sali. Dia menyoroti pimpinan-pimpinan yang memberikan pekerjaan pada pegawainya tanpa mengenal jam kerja. Ini menyebabkan masalah fisik dan mental dialami para pegawai, salah satunya berujung pada insomnia.
Pakar kesehatan yang berfokus pada perilaku tidur Michelle Drerup bahkan menyebut insomnia yang dialami orang-orang selama pandemi sebagai coronasomnia, atau covidsomnia. Ini merujuk pada masalah tidur terkait stres akibat pandemi COVID-19.
Dia menuturkan, stres berdampak pada setiap area kehidupan orang dan ini akan memengaruhi tidurnya. Kondisi ini diperparah oleh pandemi COVID-19.