Jam Istiwa Masjid Agung Surakarta Andalkan Sinar Matahari

Jam istiwa' sudah ada pada masa Raja Keratan Kasunanan Surakarta yakni Paku Buwono (PB)VIII atau Tahun 1855 masehi

Budi Arista Romadhoni
Sabtu, 10 April 2021 | 18:00 WIB
Jam Istiwa Masjid Agung Surakarta Andalkan Sinar Matahari
Salah satu pengurus Masjis Agung Surakarta saat menunjukkan dan menjelaskan mengenai Jam Istiwa. [suara.com/Ari Welianto]

SuaraSurakarta.id - Jam Istiwa' atau jam Matahari yang berada di halaman Masjid Agung Surakarta hingga kini masih digunakan untuk menentukan waktu shalat.

Jam istiwa' sudah ada pada masa Raja Keratan Kasunanan Surakarta yakni Paku Buwono (PB) VIII atau Tahun 1855 masehi. 

Meski usianya sudah sekitar seratus tahun lebih, tapi kondisi jam istiwa' masih bagus, kokoh, bersih serta terawat.

Untuk menjaga agar terjaga dan tidak rusak, Jam Istiwa diletakkan di atas tembok dan ditutup dengan kaca bening. Sehingga masyarakat masih bisa melihat dan tahu cara kerja peninggalan sejarah ini. 

Baca Juga:Pembangunan Masjid Sriwedari, Gibran: Ini Masih Diperjuangkan

"Hingga kini jam istiwa' masih kita gunakan untuk menentukan waktu shalat dzuhur dan shalat asar. Cara kerjanya menggunakan Matahari," ujar Kepala Tata Usaha Masjid Agung Surakarta Muhammad Alif saat ditemui, Sabtu (10/4/2021). 

Jam yang disebut juga jam bencet merupakan jam yang memanfaatkan bayangan paralel sinar Matahari. Bentuk jam tersebut adalah cekungan setengah silinder berbahan tembaga dan terdapat garis-garis yang disertai angka 1 hingga 12.

Pada jam tersebut dilengkapi juga jarum yang posisinya dipasang horizontal mengarah utara selatan. Maka bayang-bayang dari jarum tersebut mempunyai arah jatuh dan diartikan waktu tertentu, terutama menunjukkan waktu angka 12 siang saat matahari tegak lurus dengan Bumi saat waktu dzuhur dikumandangkan.   

Menurutnya, dulu orang-orang sebelum ada waktu mekanik seperti pakai sinar matahari untuk menentukan waktu. Jadi ketika sedang berada di sawah saat bayangannya berada tepat di atas kepala beratu sudah masuk waktu dzuhur, kalau di Masjid Agung Surakarta pakainya jam istiwa, kalau orang jawa menyebutnya jam bencet.

"Dulu simbah-simbah masih pakai sinar Matahari, sekarang sudah modernisasi memakai jam mekanik. Kalau srengengenya (matahari) di bawah kepala berati sudah masuk dzuhur, kalau srengenge bergeser sudah asar dan kalau srengengenya hilang berati sudah magrib" paparnya. 

Baca Juga:Malam-malam Ahok Kunjungi Gibran di Loji Gandrung, Ada Apa?

Untuk penggunaan jam istiwa dikomparasikan atau dicocokan dengan waktu shalat yang ditunjukkan berdasarkan Greenwich Mean Time (GMT) yang menjadi patokan utama. Ada selisih sekitar 20 menit antara GMT dengan jam istiwa. 

"Kenapa dikomparasikan untuk mencocokan saja. Untuk pemakaian jam istiwa hanya siang saja, kalau malam tidak dipakai. Dulu ini hanya sebagai petanda untuk waktu shalat," imbuh dia.  

Tidak semua Masjid Agung di daerah di Jawa Tengah yang terdapat, yang masih ada itu di Solo serta Pekalongan. Keberadaannya sudah pada sejak Masjid Agung Surakarta berdiri atau dimasa PB VIII sekitar tahun 1855.

Keberadaan jam istiwa ini juga menjadi salah satu daya tarik bagi wisatawan. Tak jarang mereka melihat dan bertanya tentang jam ini, selain itu juga dipakai untuk penelitian. 

"Saya baru tahu kalau namanya jam istiwa dan dipakai untuk menentukan waktu shalat. Sempat tanya masih digunakan juga, padahal sekarang sudah jam digital," tandas salah satu warga Ananda. 

Masjid Agung Surakarta ini mempunyai luas sekitar 19,180 meter persegi dan dikelilingi pagar setinggi 3,24 meter. Pada sebelah timur terdapat menara yang dibangun pada 1937. Menera tersebut dulu dipakai untuk mengumandakan adzan ketika waktu shalat tiba. 

Kontributor: Ari Welianto

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini

Tampilkan lebih banyak