SuaraSurakarta.id - Menurut ajaran Islam, dalam setiap bulan Ramadan akan selalu dianugerahkan malam kebaikan atau malam Lailatul Qadar.
Malam tersebut konon akan turun di 10 hari terakhir Ramadan. Untuk menyambutnya, Keraton Kasunanan Surakarta atau Keraton Solo, memiliki tradisi yang unik, yakni Malam Selikuran.
Sesuai dengan namanya, Malam Selikuran akan diselenggarakan di Keraton Surakarta Hadiningrat pada malam ke-21 bulan Ramadan setiap tahunnya.
Biasanya, tradisi ini dilaksanakan dengan mengarak tumpeng yang diiringi lampu ting mulai dari Kori Kamandungan Lor Keraton hingga ke Masjid Agung Surakarta.
Acara kirab Malam Selikuran ini biasanya akan diikuti oleh ratusan peserta, yang terdiri dari para abdi dalem, pejabat dan keluarga Keraton, hingga masyarakat luas.
Ini Sejarah Adanya Malam Selikuran Keraton Solo
Malam Selikuran sebenarnya sudah dimulai sejak kepemimpinan Pakubuwana X menjadi raja Surakarta. Dahulu, setiap malam 21 Ramadan, Sang Raja akan memerintahkan semua penduduk untuk memmbawa lampu ting atau pelita.
Setelah itu, seluruh penduduk setempat akan mengadakan doa di Masjid Agung Surakarta dengan membawa Hajad Dalem Tumpeng Sewu (seribu tumpeng) sebagai simbol malam seribu bulan. Dahulu, setiap Malam Selikuran, halaman depan Masjid Agung akan dipenuhi masyarakat seperti pasar malam.
Namun, karena Keraton Surakarta sudah memiliki pasar malam sendiri saat Sekaten, maka Pakubuwana X memindahkan Malam Selikuran ke Taman Sriwedari. Karena itu, hingga saat ini, tradisi tersebut dilakukan di Taman Sriwedari.
Baca Juga: Menelusuri Jejak Sejarah Masjid Paromosono: Masjid Pertama di Luar Keraton Solo
Meski begitu, tradisi ini sempat berhenti pada masa Pakubuwana XII bertahta. Namun, saat HR Hartono menjadi Wali Kota Surakarta, tradisi Malam Selikuran kembali dilaksanakan.
Terlepas dari hal itu, konon tradisi Malam Selikuran ini sudah ada sejak zaman Wali Songo, yakni Sing Linuwih Ing Tafakur yang artinya giat mendekatkan diri kepada Allah pada malam-malam terakhir bulan Ramadan. Hal itu kemudian disesuaikan dengan budaya Jawa hingga muncullah tradisi Malam Selikuran.
Istilah Malam Selikuran sendiri berasal dari bahasa Jawa Selikur yang artinya dua puluh satu, yang merujuk pada malam 21 Ramadan. Momen ini sekaligus menjadi peringatan ketika Nabi Muhammad SAW menerima wahyu ayat Al-quran untuk pertama kali.
Selain itu, tradisi Malam Selikuran ini juga ada kaitannya dengan petuah yang ditulis oleh Pakubuwana IV dalam salah satu karyanya, yakni Serat Wulangreh dalam tembang Dhandhanggula. Secara harfiah, Serat Wulangreh tersebut berisi pengajaran dan perintah yang ingin mengungkap kedalaman makna Al-Quran.
Kontributor : Dinnatul Lailiyah
Tag
Berita Terkait
Terpopuler
- 5 Mobil Bekas yang Anti-Rugi: Pemakaian Jangka Panjang Tetap Aman Sentosa
- 3 Mobil Bekas 60 Jutaan Kapasitas Penumpang di Atas Innova, Keluarga Pasti Suka!
- 5 Mobil Listrik 8 Seater Pesaing BYD M6, Kabin Lega Cocok untuk Keluarga
- Cek Fakta: Viral Ferdy Sambo Ditemukan Meninggal di Penjara, Benarkah?
- Target Harga Saham CDIA Jelang Pergantian Tahun
Pilihan
-
4 HP Snapdragon Paling Murah Terbaru 2025 Mulai Harga 2 Jutaan, Cocok untuk Daily Driver
-
Catatan Akhir Tahun: Emas Jadi Primadona 2025
-
Dasco Tegaskan Satgas DPR RI Akan Berkantor di Aceh untuk Percepat Pemulihan Pascabencana
-
6 Rekomendasi HP Murah Layar AMOLED Terbaik untuk Pengalaman Menonton yang Seru
-
Kaleidoskop Sumsel 2025: Menjemput Investasi Asing, Melawan Kepungan Asap dan Banjir
Terkini
-
10 Lokasi di Kota Solo Ini Bakal Ramai Dikunjungi Saat Tahun Baru, Awas Macet Total!
-
Aria Bima Resmi Pimpin DPC PDIP Kota Solo, Tak Ada Nama FX Rudy dan Teguh Prakosa dalam Kepengurusan
-
Penggugat Citizen Lawsuit Ijazah Jokowi Serahkan 33 Alat Bukti, Sebagian Tidak Valid
-
Nissan Serena vs Toyota Voxy, 8 Fakta Penentu MPV Keluarga yang Lebih Layak Dipilih
-
7 Layanan Sewa Motor di Solo yang Pas Buat Liburan Akhir Tahun 2025