- Sengketa dana hibah Keraton Surakarta berpusat pada akuntabilitas pencairan, tidak boleh langsung diterima oleh Pakubuwono XIII.
- Konflik perebutan takhta melibatkan klaim Paku Buwono XIV oleh dua pihak, memperumit pengelolaan dana hibah keraton.
- Pengelolaan dana hibah kini berperan sebagai alat politik penting yang menentukan legitimasi kepemimpinan di masa depan keraton.
SuaraSurakarta.id - Keraton Kasunanan Surakarta, yang merupakan pusat kebudayaan dan tradisi Jawa, kini tengah bergolak akibat perseteruan sengketa yang melibatkan dana hibah dan perebutan takhta.
Ini bukan hanya tentang siapa yang berhak memimpin, tetapi juga tentang bagaimana dana hibah yang diterima keraton seharusnya dikelola.
Berikut adalah 7 fakta penting yang perlu Anda ketahui tentang sengketa dana hibah di Keraton Surakarta.
1. Siapa yang Berhak Menerima Dana Hibah?
Baca Juga:Putri Tertua PB XIII Tegaskan Bebadan Baru Tetap Tunduk Atas Dawuh PB XIV, Ini Tugas dan Fungsinya
Sengketa pertama berfokus pada siapa yang berhak menerima dana hibah yang dialokasikan untuk keraton. Maha Menteri KGPA Tedjowulan menyatakan bahwa pencairan dana hibah tidak boleh diberikan langsung kepada Pakubuwono XIII KGPH Purbaya.
Ia menegaskan bahwa dana tersebut harus melalui proses yang lebih akuntabel dan tidak langsung diterima oleh sinuwon, melainkan harus melalui bendahara bebadan keraton.
Menurutnya, dana tersebut bukan untuk kepentingan pribadi, tetapi untuk keraton itu sendiri.
2. Beban Sejarah dan Tradisi dalam Pengelolaan Dana
Persoalan pengelolaan dana hibah bukan hanya masalah administratif, tetapi juga tradisi keraton yang sudah berlangsung ratusan tahun. Pihak keraton menekankan bahwa dana hibah harus dikelola dengan akuntabilitas dan tetap berlandaskan tradisi. Ini menegaskan bahwa dana hibah tidak boleh digunakan secara pribadi, melainkan untuk kelangsungan keraton sebagai lembaga budaya dan sejarah
Baca Juga:Era Baru Keraton Solo: PB XIV Purboyo Reshuffle Kabinet, Siapa Saja Tokoh Pentingnya?
3. Perdebatan Legitimasi dan Penerus Takhta
Sengketa mengenai dana hibah ini semakin rumit dengan munculnya dua versi tentang siapa yang berhak menggantikan tahta setelah wafatnya Pakubuwono XIII.
KGPAA Hamengku Negoro mengklaim dirinya sebagai Paku Buwono XIV setelah melaksanakan prosesi penerimaan tahta, sementara Lembaga Dewan Adat memilih KGPH Hangabehi sebagai penerus yang sah. Kedua versi ini memperparah konflik dan mengarah pada ketidakpastian dalam pengelolaan dana hibah.
4. Konflik di Balik Tradisi "Mendampingi"
Satu kata yang kini diperdebatkan adalah "mendampingi". Maha Menteri KGPA Tedjowulan menafsirkan kata ini sebagai hak untuk menggantikan takhta setelah wafatnya raja, sementara pihak Sinwon Paku Buwono XIV Purboyo menganggapnya sebagai kesalahan tafsir.
Dalam tradisi keraton, "mendampingi" berarti membantu, bukan mengisi tahta. Perbedaan tafsir inilah yang memperburuk perseteruan di dalam keraton.