SuaraSurakarta.id - Lembaga Dewan Adat (LDA) Keraton Solo akan bicara terkait wacana pembentuk Daerah Istimewa Surakarta (DIS) yang kembali muncul.
Pengajuan pembentukan DIS sempat oleh salah satu kerabat keraton, yakni KPH Eddy Wirabhumi ke Mahkamah Konstitusi (MK). Namun ditolak dan kemudian wacana itu tenggelam sebelum akhirnya kembali muncul.
Ketua Eksekutif LDA Keraton Kasunanan Surakarta KPH Eddy Wirabhumi mengatakan sedang menunggu juga keputusan terkait.
Saat ini bahkan sedang mengumpulkan dokumen-dokumen dan pendapat mengenai masalah itu.
Baca Juga:Belum Lama Direvitalisasi, Alun-alun Selatan Keraton Solo Dipakai Buat Pasar Malam
"Ya kalau saya nunggu juga, memang lagi mengumpulkan istilahnya pendapat-pendapat dari kanan, kiri depan, belakang itu seperti apa," terangnya, Sabtu, (26/4/2025).
Menurutnya ini sebenarnya bagian dari ketaatan terhadap konstitusi negara yang ada.
"Tentu sebetulnya ini bagian dari ketaatan kita kepada konstitusi negara. Jadi bukan masalah suka atau tidak suak tapi memang konstitusinya begitu, sehingga apa yang kita lakukan, saya dengan Gusti Moeng itu di dalam koridor konstitusi aja. Tidak keluar dari situ," jelas dia.
Eddy menjelaskan tahun 2014 lalu sempat mengajukan pembentukan DID ke MK. Dulu sempat keliling ke seluruh wilayah untuk minta dukungan dari masyarakat
"Dulu saya pikir perlu dukungan seluruh masyarakat, makanya dulu kita keliling seluruh wilayah dari DPRD hingga pimpinan daerahnya. Nah, pada saat kemudian semua sudah setuju, kami maju juga di MK. Saya sadar bahwa dari awal legal standingnya kurang kuat dan betul ternyata kurang kuat. Namun dari situ kebuka semua pertimbangan hukum dari mana-mana itu," paparnya.
Baca Juga:Kisah Mistis dan Sejarah Kelam Jembatan Bacem Sukoharjo
"Dulu alasan MK menolak itu, legal standingnya perlu diperbaiki lah. Karena waktu itu pemohonnya saya sama Gusti Isbandiyah," lanjut dia.
Ketika disinggung sekarang ada pihak yang mengajukan pembentukan DIS, Eddy mengaku tidak tahu.
"Saya nggak tahu kalau soal itu. Saya tidak tahu persis yang mengajukan sekarang siapa, kalau dari DPR yang mengajukan lebih bagus lagi," ungkapnya.
Kalau bicara harapan, sejauh negara Indonesia masih menggunakan UUD 1945. Maka sejauh itu pula hak keistimewaan Surakarta itu ada di situ.
"Bicara harapan, sejauh negara kita masih menggunakan UU 45 sejauh itu pula hak keistimewaan Surakarta ada di situ. Jadi, kalaupun nggak dibahas ataupun dibicarakan bukan berarti kemudian harapannya pupus," kata dia.
Eddy menegaskan bahwa pembentukan provinsi Jawa Tengah itu seharusnya tidak termasuk Surakarta. Karena Surakarta itu sebelumnya adalah daerah istimewa.
![Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat atau Keraton Solo menggelar HajadDalem Garebeg Pasa JE 1958, Selasa (1/4/2025) siang. [Suara.com/dok]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2025/04/01/47377-keraton-solo.jpg)
"Bahwa kemudian daerah istimewa Surakarta itu dititipkan ke pemerintah pusat. Ada isi di dalam ketentuan Peraturan Perundangan (PP) Nomor 16 itu. Kalau sifatnya sementara, kalau sudah kondisinya sudah kondusif di kembalikan kembali," paparnya.
"Itu tentang PP 16, kalau tentang posisi hak konstitusi Surakarta sama seperti Yogyakarta. Itukan danya maklumat dan piagam kependudukan. Kan yang punya maklumat dan piagam kedudukan tidak hanya Yogyakarta, bahkan Surakarta lebih dulu," jelas dia.
Pemkot Solo menyebut hingga saat ini belum ada pembahasan soal pembentukan Daerah Istimewa Surakarta (DIS).
Sebelumnya, wacana pembentukan DIS dan berpisah dengan Provinsi Jawa Tengah kembali ramai di media sosial.
"Kami belum membicarakan sejauh itu," kata Wakil Wali Kota Solo Astrid Widayani melansir ANTARA, Jumat (25/4/2025).
Meski belum ada pembahasan, ia mengaku sudah mendengar wacana tersebut sejak beberapa waktu lalu.
"Kalau usulan itu akan kami pelajari," jelas dia.
Terkait kondisi di Surakarta dan sekitarnya, saat ini pihaknya terus memperkuat koordinasi dengan seluruh kabupaten yang ada di sekitar Solo Raya.
"Dalam konteks saat ini yang sedang kami jalankan adalah Surakarta jadi pusat atau hub dari wilayah penyangganya," paparnya.
Kontributor : Ari Welianto