SuaraSurakarta.id - Isra Mi'raj merupakan salah satu peristiwa paling agung dalam sejarah Islam, di mana Nabi Muhammad SAW diperjalankan oleh Allah SWT dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa (Isra) dan kemudian naik ke Sidratul Muntaha (Mi'raj) untuk menerima perintah shalat.
Namun, di balik peristiwa luar biasa ini, tersimpan kisah penuh kesedihan yang dialami oleh Rasulullah SAW.
Perjalanan suci ini terjadi di tahun yang dikenal sebagai ‘Amul Huzn atau Tahun Kesedihan, sebuah fase berat dalam kehidupan Nabi.
Artikel ini akan mengupas kisah sedih di balik Isra Mi'raj untuk menggali hikmah besar yang dapat kita petik.
Baca Juga:Malam 1 Rajab 1446 Hijriah: Keutamaan, Doa, dan Dzikir untuk Tahun Baru 2025
Tahun Kesedihan: Kehilangan Orang-Orang Tercinta
Peristiwa Isra Mi'raj terjadi pada tahun ke-10 kenabian, yang dikenal sebagai ‘Amul Huzn atau Tahun Kesedihan. Sebutan ini merujuk pada berbagai cobaan berat yang dialami Rasulullah SAW, termasuk wafatnya dua orang tercinta beliau: Sayyidah Khadijah RA dan Abu Thalib.
Sayyidah Khadijah RA, istri Nabi yang setia dan pendukung terbesar dakwah Islam, wafat pada usia 65 tahun setelah mendampingi Rasulullah selama hampir 25 tahun.
Beliau adalah sosok yang selalu menguatkan Rasulullah saat menghadapi tekanan dari kaum Quraisy. Kehilangan Khadijah RA menjadi pukulan berat bagi Nabi karena selain sebagai istri, beliau adalah partner sejati dalam dakwah.
Tak lama setelah itu, Abu Thalib, paman Nabi yang juga pelindung utama beliau dari ancaman kaum Quraisy, meninggal dunia.
Baca Juga:Panduan Doa dan Amalan Islami di Malam Tahun Baru 2025
Dengan wafatnya Abu Thalib, Nabi kehilangan perlindungan politik yang selama ini menjaga beliau dari tekanan lebih keras. Kepergian dua sosok penting ini membuat Rasulullah SAW sangat terpukul.
- 1
- 2