"Kalau yang masih bertahan itu dari mimbar sampai gedung bagian belakang. Jendela masih asli, kursi, lantai juga asli dari dulu serta lonceng juga," imbuh dia.
GPIB Penabur ini pernah mengalami beberapa kali restorasi besar. Pertama tahun 1907, itu masih pemerintahan Hindia Belanda.
Lalu tahun 1966 saat Solo terjadi banjir besar dan terakhir pada tahun 1976 dan selesai 1978, sehingga bentuk depannya seperti saat ini.
"Ada tiba kali sebetulnya sudah dilakukan restorasi besar dari awal gereja ini dibangun," jelasnya.
Baca Juga:Sindiran Pedas Usai RAPBD Kota Solo 2025 Gagal Disahkan, Eks Legislatif Buka Suara
Keunikan GPIB Penabur ini, terdapat lonceng gereja yang dari dulu masih bertahan. Dulu Belanda memesan dua lonceng identik, lonceng pertama diserahkan dan digunakan di Keraton Kasunanan Surakarta, sedangkan satunya ada di GPIB Penabur.
"Lonceng itu ada sejak awal gereja berdiri, dulu ditempatkan dibawah terus saat direnovasi diletakan di menara gereja. Itu selalu dibunyikan setiap ibadah di hari minggu saja," paparnya.
"Kenapa dibunyikan, sebagai ajakan atau panggilan jamaah untuk beribadah. Dibunyikan sebelum pukul 08.00 WIB," tutur dia.
Kontributor : Ari Welianto
Baca Juga:Astaga! RAPBD Kota Solo 2025 Gagal Disahkan, Dampak Polemik PDIP vs KIM Plus?