SuaraSurakarta.id - Bangsal Siti hinggil merupakan salah satu komplek yang dimiliki Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat.
Ada dua bangsal siti hinggil, yakni siti hinggil lor (utara) dan siti hinggil kidul (selatan). Siti hinggil dibangun di atas tanah yang lebih tinggi dari sekitarnya.
Siti hinggil lor berada di selatan Sasana Sumewa, yang merupakan bangunan utama terdepan di Keraton Kasunanan Surakarta.
Dulu Sasana Sumewa dipakai untuk tempat menghadap para punggawa (pejabat menengah atas) dalam upacara resmi kerajaan.
Pada siti hinggil lor memiliki dua gerbang, yakni gerbang sebelah utara disebut kori wijil, sedangkan sebelah selatan disebut kori renteng.
Di bagian siti hinggil yang dibangun sekitar 1774 terdapat bangunan kecil tempat pusaka meriam peninggalan Mataram Islam yang bernama Meriam Nyai Setomi.
Sementara di Siti hinggil kidul (selatan) lebih sederhana jika dibandingkan siti hinggil lor. Bahkan lebih terbuka, di selatan siti hinggil langsung berhadapan dengan alun-alun kidul.
"Siti hinggil itu dari kata siti dan hinggil yang berati tanah yang tinggi. Fungsinya sama antara yang di kidul dan lor," ujar pemerhati sejarah dan budaya, KRMT Nuky Mahendranata Nagoro, Senin (22/8/2022).
Kanjeng Nuky menjelaskan, dulu dipakai untuk posisi raja keraton ketika menerima atau menghadapi rakyatnya.
Baca Juga:Keraton Kasunanan Surakarta Pastikan Kerbau Keturunan Kyai Slamet Ikuti Kirab Malam 1 Sura
Dulu ketika raja memberikan pengumuman, itu rakyatnya dikumpulkan di alun-alun.
"Jadi posisi raja ada di siti hinggil supaya bisa dilihat dan sabdanya bisa didengar rakyatnya. Kan dulu belum ada pengeras suara, jadi melalui maha patih atau apa disampaikan ada pengumuman apa dari raja," ungkap sentana darah dalem Sinuhun PB X ini.
Menurutnya, siti hinggil itu merupakan konsep lama dari sejak kerajaan-kerajaan dulu selalu memakai siti hinggil.
Cuma untuk konsep siti hinggil lor dan kidul itu ada ketika era Kerajaan Kartasura.
"Jadi sebelum era Kartasura itu, siti hinggil hanya ada di sebelah utara. Kalau sebelah selatan di Pleret atau Kerto itu ada segara yoso, yang dulu dipakai untuk latihan perang," katanya.
Letak siti hinggil itu lurus dengan Tugu Pemandengan atau tugu titik nol Kota Solo. Diantara garis tersebut terdapat garis spiritual, yang ditandai dengan Masjid Agung dan gereja.
"Jadi konsep kita menghadap ke Tuhan, jadi lurus vertikal," ucap dia.
Pada zaman dahulu ketika ada pisowanan agung agung atau hari jadi, rakyat, abdi dalem yang mempunyai pangkat di bawah bupati sepuh itu biasanya sowannya di siti hinggil jadi tidak masuk di dalam keraton.
Saat ada upacara adat, seperti grebeg atau yang lain, rakyat bisa melihat atau bertemu raja di siti hinggil.
"Titik pertemuannya di situ," imbuhnya.
Siti hinggil juga biasa dipakai raja, untuk melihat aktivitas rakyatnya. Apalagi di depannya terdapat alun-alun keraton.
Karena siti hinggil dan alun-alun itu merupakan titik di mana rakyat bisa bertemu dengan raja atau sebaliknya raja bertemu dengan rakyat.
"Kalau dulu harus di siti hinggil tidak bisa di mana-mana," pungkasnya.
Kontributor : Ari Welianto