"Jadi posisi raja ada di siti hinggil supaya bisa dilihat dan sabdanya bisa didengar rakyatnya. Kan dulu belum ada pengeras suara, jadi melalui maha patih atau apa disampaikan ada pengumuman apa dari raja," ungkap sentana darah dalem Sinuhun PB X ini.
Menurutnya, siti hinggil itu merupakan konsep lama dari sejak kerajaan-kerajaan dulu selalu memakai siti hinggil.
Cuma untuk konsep siti hinggil lor dan kidul itu ada ketika era Kerajaan Kartasura.
"Jadi sebelum era Kartasura itu, siti hinggil hanya ada di sebelah utara. Kalau sebelah selatan di Pleret atau Kerto itu ada segara yoso, yang dulu dipakai untuk latihan perang," katanya.
Letak siti hinggil itu lurus dengan Tugu Pemandengan atau tugu titik nol Kota Solo. Diantara garis tersebut terdapat garis spiritual, yang ditandai dengan Masjid Agung dan gereja.
"Jadi konsep kita menghadap ke Tuhan, jadi lurus vertikal," ucap dia.
Pada zaman dahulu ketika ada pisowanan agung agung atau hari jadi, rakyat, abdi dalem yang mempunyai pangkat di bawah bupati sepuh itu biasanya sowannya di siti hinggil jadi tidak masuk di dalam keraton.
Saat ada upacara adat, seperti grebeg atau yang lain, rakyat bisa melihat atau bertemu raja di siti hinggil.
"Titik pertemuannya di situ," imbuhnya.
Baca Juga:Keraton Kasunanan Surakarta Pastikan Kerbau Keturunan Kyai Slamet Ikuti Kirab Malam 1 Sura
Siti hinggil juga biasa dipakai raja, untuk melihat aktivitas rakyatnya. Apalagi di depannya terdapat alun-alun keraton.