Cerita dari Desa Sumurgeneng Jauh Sebelum Disebut Kampung Miliarder: Penyesalan Warganya Sia-sia

Uang hasil penjualan tanah semakin lama semakin berkurang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Siswanto
Jum'at, 28 Januari 2022 | 10:47 WIB
Cerita dari Desa Sumurgeneng Jauh Sebelum Disebut Kampung Miliarder: Penyesalan Warganya Sia-sia
Suasana desa miliarder, Desa Sumurgeneng, Kecamatan Jenu, Tuban [beritajatim]

SuaraSurakarta.id - Sebagian warga Desa Sumurgeneng, Kecamatan Jenu, Kabupaten Tuban, kini menyesal menjual tanah untuk pembangunan kilang.

Desa Sumur Geneng tahun lalu mendadak terkenal dan disebut sebagai kampung miliarder setelah mayoritas penduduknya mendadak kaya dan (sebagian) membeli mobil-mobil baru setelah mendapatkan ganti rugi pembebasan lahan.

Tapi penyelasan yang dirasakan sebagian warga pada saat ini sudah tidak ada gunanya, proyek nasional kilang Pertamina Gras Root Refinery Tuban tetap berjalan.

Mayoritas warga desa itu dulunya petani. Sebelum ada proyek kilang minyak, perekonomian mereka sudah tercukupi dari hasil lahan pertanian yang sangat subur dan produktif, kata Kepala Desa Sumurgeneng Gianto.

Baca Juga:Ironis, Warga Tuban Dulu Miliarder, Sekarang Menyesal Pernah Menjual Lahannya

Dari hasil pertanian, penduduk Desa Sumurgeneng bisa menyisihkan uang untuk ditabung. Dari hasil menabung, sebagian bisa dipakai untuk membiayai naik haji.

Pada tahun 2019, warga Desa Sumurgeneng yang berangkat ke Tanah Suci mencapai 18 orang dan ini menjadi yang paling banyak di daerah itu.

"Dari hasil panen jagung itu, sebelumnya sudah bisa dipakai untuk daftar haji," kata Gianto.

Dalam satu tahun, petani bisa panen jagung sampai tiga kali.

Setiap satu  hektare lahan bisa menghasilkan lima sampai enam ton jagung.

Belum lagi hasil panen tanaman padi.

Sebagian warga sekarang susah makan

Baca Juga:Warga Kampung Miliarder Tuban Menyesal Jual Tanah, Pakar Finansial Ingatkan Pentingnya Mitigasi Risiko!

Bagaimana keadaan warga Desa Wadung dan Sumurgeneng, Kecamatan Jenu, Tuban, atau "kampung miliarder" sekarang?

Pada awal 2021, nama desa itu menjadi pusat perhatian. Mayoritas warganya kaya mendadak setelah mendapatkan kompensasi dari pembangunan kilang Pertamina.

Hampir tiap rumah ketika itu sanggup membeli satu mobil, bahkan tiga mobil baru sekaligus.

Setahun kemudian, sebagian warga mengeluh. Mereka mengeluh tidak punya pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan hidup.

Musanam (60) tidak begitu semangat ketika ditemui jurnalis pada Senin (24/1/2022), pagi.

Dia sama sekali tidak mengira akan hidup sulit setelah menjual tanahnya.

Dia teringat kehidupan keluarganya sebelum datang kilang minyak. Musanam hidup tenteram bersama istri, dua anak, dan satu cucu. Mereka tinggal di atas lahan seluas 117 meter persegi.

Setelah datang rencana pembangunan kilang, Musanam akhirnya terbujuk untuk ikut menjual tanah seharga Rp500 juta.

"Saya mau melepas tanah dan rumah untuk kilang karena dijanjikan dipekerjakan sebagai pembersih rumput di area kilang minyak. Pekerjaan itu masih mampu saya kerjakan meskipun sekarang usia sudah 60 tahun," ujar Musanam.

Tapi pekerjaan yang dijanjikan tidak kunjung datang sampai sekarang, sementara uang ganti rugi lahan sudah dipakai untuk membeli tanah dan rumah baru di kampung baru.

Sekarang dia menyesal telah menjual tanah dan pindah secara mandiri ke tempat baru karena menjadi pengangguran.

Untuk biaya makan keluarga, dia sesekali mengandalkan pendapatan dari anak menantu.

Dia menjual satu per satu sapi di rumahnya. Dari enam ekor sapi, sekarang tersisa tiga ekor sapi.

Dia sudah putus asa menunggu janji perusahaan akan mempekerjakan anak menantunya di kilang minyak.

Musanam kemudian bergabung dengan paguyuban pemuda enam desa. Mereka unjuk rasa di kilang GRR Tuban untuk menagih janji pekerjaan.

"Harapan saya tinggal ini. Setiap hari saya terus diomeli istri karena menganggur. Sapi terus menerus berkurang untuk makan sehari-hari," katanya.

Mugi (60) juga bernasib sama dengan Musanam.

Dulu, dia menjual tanah seluas 2,4 hektare ke Pertamina seharga Rp2,5 miliar.

"Sekarang ada perasaan menyesal karena sudah menjual lahan. Dulu lahan saya ditanami jagung dan cabai dan setiap kali panen bisa meraup Rp40 juta, tapi sekarang saya tak punya pendapatan lagi," katanya.

Uang hasil penjualan tanah semakin lama semakin berkurang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Mugi teringat dulu ketika petugas sering mendatanginya untuk menjual tanah.

"Petugas sering datang ke kebun. Mengiming-imingi pekerjaan untuk anak-anak tapi hanya bohong sekarang," kata dia.

Menanggapi protes warga menyangkut janji pekerjaan yang tak kunjung ditepati, perwakilan Pertamina Solikin meminta waktu dua pekan untuk menyelesaikan masalah perekrutan security.

"Hari ini belum ada keputusan karena harus dikoordinasikan dulu dengan pimpinan pusat," kata dia.

Menanggapi apa yang terjadi dengan warga Desa Sumurgeneng, Ketua DPD AA LaNyalla Mahmud Mattalitti mengatakan pemerintah harus memberikan solusi.

LaNyalla berharap pemerintah menyiapkan skema pemindahan lahan jika terjadi penggusuran di Desa Sumurgeneng serta mengingatkan masyarakat yang terkena gusuran agar lebih bijak menggunakan uang ganti rugi.

"Saya cukup prihatin mendengar informasi penyesalan warga Desa Sumurgeneng, Tuban, yang menjual lahan sawahnya ke Pertamina. Pemerintah perlu merespons kondisi ini. Pasalnya, warga kehilangan pekerjaan dan kesulitan menciptakan pekerjaan pascalahannya digusur Pertamina," kata LaNyalla dalam laporan Antara.

Menurutnya, warga yang umumnya berprofesi sebagai petani, tidak mudah beralih pekerjaan setelah lahannya digusur. Permasalahan ini merupakan fenomena masyarakat yang seringkali terjadi jika ada penggusuran.

"Mereka akan kaya sebentar, namun karena tidak bisa mengelola uangnya, tidak berapa lama kemudian mereka menjadi miskin, kehilangan semuanya dan menganggur. Warga sering lupa jika mereka pun masih butuh pemasukan," katanya.

Senator asal Jawa Timur itu mengatakan potensi pembangunan di daerah sebenarnya sangat tinggi, baik itu disebabkan proyek strategis nasional maupun pembangunan jalan tol atau gedung.

"Ironisnya, ganti rugi uang yang besar justru tidak mampu mendukung pertumbuhan ekonomi. Sebaliknya, malah menyebabkan angka pengangguran dan kemiskinan meningkat," katanya.

Untuk itu, LaNyalla berharap pemerintah memiliki skema yang dapat menjadi solusi bagi masyarakat yang terkena gusuran.

"Misalnya melalui pemindahan lahan agar warga tetap bisa bertani ketika tanahnya digusur. Jadi terdapat win-win solution. Pemerintah jangan sampai abai dengan nasib dan masa depan warganya," katanya. [Bloktuban dan rangkuman laporan Suara.com]

REKOMENDASI

News

Terkini

Tampilkan lebih banyak