Sarasehan ini dibuka dengan diskursus tantangan yang dihadapi Indonesia dalam menjaga kerukunan antar golongan.
Termasuk munculnya gerakan terorisme, perpecahan sosial, dan segregasi budaya yang terjadi di berbagai lapisan masyarakat Indonesia pasca-konflik 2000-an. Hal ini menjadi semakin relevan dengan meningkatnya ketegangan sosial yang mengancam kesatuan bangsa.
Salah satu hal menarik dalam acara ini adalah penekanan pada pentingnya budaya dan tradisi lokal sebagai pilar Pancasila.
Iik Suryani selaku pelaku pelestari budaya dan penggiat Serut Podomoro Festival menyarankan agar kita kembali menggali dan mengangkat tradisi lokal yang sudah ada sejak lama.
Baca Juga:Kolaborasi Inspiratif: Ibu-ibu Acacia Residence dan UNS Ciptakan Batik Karya Sendiri
Salah satu contoh kegiatan yang diangkat adalah Festival Podomoro. Festival ini mengusung sayur Podomoro yang merupakan makanan khas Solo sebagai simbol dalam membranding Dusun Serut di Desa Ngringo.
Festival ini bukan hanya sekadar acara kuliner, tetapi kegiatan ini juga memuat filosofi mendalam tentang kebersamaan dan gotong-royong, yang merupakan bagian dari nilai-nilai Pancasila.
Berdasarkan pemaparan Bu Iik, festival ini menjadi sarana untuk melestarikan tradisi sekaligus memperkenalkan nilai-nilai Pancasila kepada generasi muda, melalui makanan khas yang mengandung filosofi kebersamaan.
"Sayur Podomoro mengajarkan kita tentang pentingnya berbagi, saling mendukung, dan menjaga keharmonisan dalam hidup bersama," ujar Bu Iik.
Dalam sesi diskusi, terdapat antusiasme yang dari para peserta dalam mengikuti kegiatan sarasehan. Hal ini nampak dari banyaknya pertanyaan yang ditujukan kepada narasumber terkait peran generasi Z dalam kegiatan festival Serut Podomoro.
Baca Juga:Tragis! Hendak Pasang Baliho di Matesih, Pria Asal Ngawi Tewas Tersengat Listrik
Para peserta sepakat bahwa untuk menghidupkan kembali nilai-nilai Pancasila, hal tersebut harus dimulai dari tingkat yang paling dasar, yaitu masyarakat desa dan komunitas lokal. Pancasila tidak cukup jika hanya dikenalkan di ruang-ruang formal atau sekolah, tetapi harus menyentuh kehidupan nyata masyarakat.