Tradisi Mahesa Lawung Keraton Solo: Moderasi Beragama dan Kelestarian Budaya

Tradisi ini telah diperkaya dengan simbol-simbol Islam oleh Sunan Kalijaga pada masa perkembangan Islam di Jawa.

Ronald Seger Prabowo
Kamis, 31 Oktober 2024 | 20:08 WIB
Tradisi Mahesa Lawung Keraton Solo: Moderasi Beragama dan Kelestarian Budaya
Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat atau Keraton Solo menggelar upacara Wilujengan Nagari Sesaji Mahesa Lawung Tahun JE 1958 pada Kamis (31/10/2024). [Dok Pribadi]

SuaraSurakarta.id - Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat atau Keraton Solo menggelar upacara Wilujengan Nagari Sesaji Mahesa Lawung Tahun JE 1958 pada Kamis (31/10/2024).

Tradisi yang berlangsung di kompleks Keraton Solo dan Alas Krendowahono, Gondangrejo, Karanganyar, ini melibatkan pengageng dan abdi dalem keraton, yang mengarak berbagai sesaji mengelilingi area keraton sebelum melanjutkan perjalanan ke lokasi ritual di Alas Krendowahono, Kabupaten Sragen.

Pengageng Parentah Keraton Solo, KGPH Dipokusumo menjelaskan Wilujengan Nagari Sesaji Mahesa Lawung merupakan ritual yang diwariskan sejak era Kerajaan Demak, bahkan sebelum masuknya agama-agama besar di Nusantara.

Dulu dikenal sebagai Sesaji Raja Weda atau Sesaji Raja Suya, tradisi ini telah diperkaya dengan simbol-simbol Islam oleh Sunan Kalijaga pada masa perkembangan Islam di Jawa.

Baca Juga:Revitalisasi Dua Alun-alun Rampung, Pemkot Solo dan Keraton Solo Tandatangani Serah Terima Sementara

"Wilujengan Mahesa Lawung ini adalah perpaduan budaya Islam, Kejawen, dan Hindu-Buddha, sehingga mencerminkan moderasi beragama dalam tradisi ini,” ujar Dipokusumo.

Menurutnya, pentingnya acara ini untuk melestarikan budaya dan mempererat keharmonisan antarumat beragama.

Ritual ini melibatkan sepuluh simbol yang dituangkan dalam benda-benda sesaji, di antaranya melambangkan elemen bumi, makanan, gunung, laut, dan tanaman. Simbol kepala kerbau, yang disebut Mahesa Lawung, juga dihadirkan sebagai representasi kekuatan dan keteguhan.

Ada pula lambang-lambang yang berkaitan dengan pemikiran, keyakinan, serta iklim, dan puncaknya menggambarkan hubungan dengan Tuhan, atau dalam konsep Jawa disebut sangkan paraning dumadi.

"Tradisi ini menjadi doa bagi kelestarian lingkungan hidup dan keharmonisan alam," jelas Dipokusumo.

Baca Juga:5 Wisata Malam di Solo yang Bikin Susah Kedip, Dari Romantis Hingga Murah Meriah!

Ia menyebut, meskipun tradisi ini telah berkembang, esensi dan tujuan utamanya tetap bertahan sejak masa Kerajaan Mataram Islam.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini

Tampilkan lebih banyak