SuaraSurakarta.id - Bekas Hotel Cokro yang berada di Jalan Slamet Riyadi Kota Solo dulu merupakan salah satu bekas hotel mewah yang berada di Kota Solo.
Bangunan yang sudah mangkrak sekitar 28 tahun ini memiliki sejarah perjuangan bagi para pejuang melawan penjajahan Jepang di Kota Solo.
Dulu di Kota Solo pergerakan, pergolakan melawan penjajahan baik dari Belanda hingga Jepang sangat luar biasa.
"Di bekas Hotel Cokro itulah dulu ada perlawanan pemuda-pemuda hingga tokoh-tokoh pergerakan melakukan perlawanan yang hebat dan luar biasa," ujar Pemerhati Sejarah Solo, Mufti Raharjo saat ditemui, Kamis (21/12/2023).
Baca Juga:Hotman Paris Soroti Kasus Pembunuhan Anjing Lato di Solo hingga Ajak Semua Pengacara Bergerak
Menurutnya banyak kisah yang terjadi di bekas Hotel Cokro itu, tidak hanya perlawanan tapi juga perundingan. Saat pelaksanaan penyerahan kekuasaan pemerintahan Jepang ke pemerintahan Indonesia di Kota Solo.
"Yang jelas di situ terjadi peristiwa perlawanan hingga pembantaian. Ada perjanjian atau perundingan juga, pokoknya di titik itu banyak kisah," ungkap dia.
Di bagian depan bekas Hotel Cokro itu terdapat prasasti atau monumen. Hanya saja untuk tulisannya sudah usang sehingga tidak bisa terbaca jelas.
Prasasti tersebut dibangun untuk memperingati peristiwa perebutan kekuasaan dari pemerintah sipil Jepang Koti Jimi Kyoku dari Shochokan Watanabe kepada Ketua Komite Nasional Indonesia (KNI) Surakarta BPH Soemodiningrat.
Lalu penyerahan kekuasaan tentara Jepang dari Komando Letkol T. Mase kepada KNI Surakarta dan penyerbuan terhadap markas Kenpetai sebagai benteng terakhir kekuasaan Jepang di Surakarta.
Baca Juga:Fasilitas Lengkap, Ini Harga Tiket Bus Solo-Palembang Terbaru dan Jam Keberangkatannya
"Di bagian depan itu ada tetenger atau prasasti ada peringatan atau maklumat yang ditulis. Itu untuk mengenang peristiwa di situ," katanya.
Setelah masa kemerdekaan dengan berkembangnya waktu, bangunan itu dibangun menjadi hotel mewah oleh pemilik. Itu terjadi pada saat Wali Kota Solo Hartomo dan Gubernur Jateng HM Ismail.
"Pemilik bangunan itu saudagar kaya asal Kota Solo bernama Cokro. Setelah selesai dibangun menjadi hotel, lalu diberi nama Hotel Cokro sesuai nama pemiliknya," ungkap dia.
Sebelum dijadikan hotel merupakan bangunan rumah peninggalan zaman Belanda. Karena dulu itu di sepanjang Jalan Slamet Riyadi itu banyak bangunan-bangunan kuni milik orang-orang kaya.
"Dulu bangunan rumah pas masa Belanda. Dulu sempat dijadikan markas untuk perjuangan, lalu kepemilikannya berproses sampai menjadi milik Pak Cokro," sambung dia.
Saat masih jadi hotel sangat ramai pengunjungnya, karena termasuk hotel mewah pada zamannya. Apalagi bangunannya bagus perpaduan dengan Eropa, arsitekturnya bagus, eksteriornya bagus, interiornya juga bagus. Landscape dan tata ruangannya juga bagus.
"Waktu itu hotel terbaik, okupansinya bagus. Bangunannya itu pilar-pilar gaya Eropa, tinggi memanjang. Jadi dulu kalau ke Solo menginap di Hotel Cokro," imbuhnya.
"Itu bukan bangunan kuno. Tapi bangunan baru dan modern, tampak depannya itu khas Eropa sekali," ucapnya.
Wingit atau Angker
Keberadaan Hotel Cokro tidak berlangsung lama. Selang beberapa tahun menjadi sepi dan tidak aktif jadi hotel lagi hingga mangkrak sampai sekarang.
Karena banyak masyarakat yang menyakini dan mempercayai bahwa area di Hotel Cokro itu wingit (angker). Banyak juga kisah-kisah mistis dan menyeramkan di situ.
"Papan panggonane (tempatnya) memang wingit. Ada energi yang berbeda sehingga jadi hotel itu tidak lama dan akhirnya mangkrak lama sekali, sejak awal jadi hotel hingga sekarang bangunan masih sama," terang dia.
Diakuinya dulu pernah masuk ke bekas Hotel Cokro dan kesannya itu terasa sekali ada hal yang berbeda. Banyak cerita-cerita dari warga atau penghuninya soal Hotel Cokro.
"Saya sengaja masuk ke situ dan kerasa banget auranya berbeda. Saya pernah dapat cerita baik dari warga atau penghuni soal hal-hal aneh di hotel itu," paparnya.
Sekarang bekas Hotel Cokro ini dijadikan sebagai wisata uji nyali dengan wahana rumah hantu. Dengan kondisi yang mangkrak dan tidak terurus selama puluhan tahun ini membuat semakin menyeramkan.
"Saya sangat setuju itu dijadikan wahana rumah hantu. Karena di dalam dunia pariwisata itu ada namanya wisata spiritual," tandas dia.
Kontributor : Ari Welianto