SuaraSurakarta.id - Salah satu kota yang masih menjaga dan mewariskan kebudayaan Jawa yang adiluhung adalah Kota Solo. Uniknya, kota yang pernah dipimpin Presiden Joko Widodo ini memiliki sebutan tiga sekaligus, yakni Sala, Solo, dan Surakarta.
Namun, sebenarnya, ketiga nama tersebut memiliki cerita sejarah yang berbeda-beda pula. Asal-usul penyebutan kota Solo yang lebih dikenal dibandingkan dengan Surakarta itu tak lepas dari sosok Kiai Sala.
Perlu digaris bawahi bahwa Kiai Sala berbeda dengan Ki Gede Sala. Kerancuan tersebut pernah diluruskan oleh KGPH Puger, Putra Sunan Pakubuwono XII. Ia mempertegas bahwa Ki Gede Sala dan Kiai Sala bukan orang yang sama.
Menurut keterangannya, Kiai Sala adalah tokoh yang hidup di zaman Keraton Pajang yang dipimpin oleh Sultan Hadiwijaya (Jaka Tingkir), sedangkan Ki Gede Sala adalah tokoh yang hidup pada masa Keraton Kartasura, tepatnya pada kepemimpinan Sunan Pakubuwono II.
Baca Juga:Kilas Balik Ternchem: Band Rock Pertama Indonesia Asal Solo yang Seangkatan The Beatles
Bersamaan dengan hal itu, terkuak bahwa tokoh yang dimakamkan di Pesarean, di pojok benteng keraton perkampungan Baluwarti, itu bukanlah Ki Gede Sala, melainkan Kiai Sala.
Ini Sosok Kiai Sala dan Asal-Usul Nama Sala
Menurut keterangan Gusti Puger, catatan mengenai Kiai Sala yang dimakamkan di Baluwarti itu masih diabadikan dalam catatan arsip Keraton Surakarta. Menurut riwayat tersebut dikatakan bahwa Kiai Sala dimakamkan di tempat yang saat ini berdiri bangunan sitinggil.
Namun, pada saat terjadi Geger Pacinan pada tahun 1741, Keraton Kartasura hancur. Sunan Pakubuwono II kemudian memutuskan adanya perpindahan keraton ke daerah timur Kartasura, yang kemudian diketahui bernama Desa Sala. Karena itulah, keraton Kartasura dipindahkan ke Surakarta.
Bersamaan dengan itu pula, jasad Kiai Sala juga dipindahkan. Jadi, makam yang sering dikunjungi para peziarah di Baluwerti itu adalah makam Kiai Sala.
Baca Juga:Bakal Pilih Cuti atau Mundur Selama Pilpres 2024, Gibran Buka Suara
Sebelumnya, terdapat tiga alternatif untuk pembangunan keraton baru, yakni daerah Kadipolo, Sonosewu, dan Desa Sala. Pada akhirnya, Desa Sala terpilih lantaran kondisi geografisnya yang strategis, terutama karena tidak jauh dari sungai Bengaran Sala. Pakubuwono II kemudian membeli tanah Desa Sala tersebut dari Ki Gede Sala.
Karena itu, Kiai Sala dan Ki Gede Sala sebenarnya hidup di zaman yang berbeda. Jika diceritakan Ki Sala hidup pada masa keraton Pajang, yakni pada akhir abad 16, maka jaraknya dengan Ki Gede Sala hidup adalah 100 tahun.
Ki Gede Sala pada waktu itu kemudian diangkat sebagai birokrat kerajaan. Karena itu, Ki Gede Sala ditugaskan ke wilayah Kerajaan Surakarta dan ditransmigrasikan. Artinya, Ki Gede Sala diperintahkan ke wilayah kekuasaan kerajaan yang lain. Keraton tidak memiliki catatan di mana Ki Gede Sala dimakamkan.
Sementara itu, nama Sala sendiri diambil lantaran wilayah tersebut banyak ditumbuhi tanaman sala, sejenis pohon pinus sebelum akhirnya didirikan kerajaan Surakarta. Hal itu tertulis di Serat Babad Sengkala.
Dari Sala Berubah Menjadi Solo
Pelafalan Sala menjadi Solo terjadi saat kedatangan Belanda. Mereka melafalkan huruf ‘a’ menjadi ‘o’ sebagaimana umumnya. Penyebutan tersebut kemudian menjadi populer hingga saat ini.
Meskipun penyebutan Surakarta telah menjadi nama resmi secara administratif, akan tetapi penyebutan Solo atau Sala masih menjadi nama yang populer digunakan oleh masyarakat umum.
Adapun, Solo dulu hanyalah sebuah desa terpencil yang berjarak sekitar 10 km di sebelah timur Surakarta, pusat kerajaan Mataram pada kala itu. Berubah nama menjadi Surakarta setelah perpindahan kerajaan Surakarta ke desa Sala pada tahun 1745.
Karena itu, hingga saat ini Desa Sala diubah menjadi pusat kerajaan dengan berdirinya Keraton Surakarta Hadiningrat. Pemilihan lokasi tersebut berdasarkan pertimbangan Tumenggung Hanggawangsa, Tumenggung Mangkuyudha, dan J.A.B Van Hohendorff.
Kontributor : Dinnatul Lailiyah