SuaraSurakarta.id - Pengamat politik sekaligus Dosen Magister Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ), Sri Yunanto buka suara terkait dengan isu politik dinasti yang muncul dalam beberapa waktu terakhir.
Isu politik dinasti mencuat menyerang sosok Wali Kota Solo, Gibran Rakabuming Raka jelang penyelenggaraan Pemilu 2024 mendatang.
Apalagi, dukungan kepada putra sulung Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk maju sebagai bakal calon wakil presiden (Bacawapres) mendampingi bakal calon presiden (Bacapres) Prabowo Subianto makin santer terdengar.
Menurut Sri Yunianto, politik dinasti kerap terjadi di berbagai belahan dunia. Sebut saja seperti Amerika Serikat. Saat itu, dinasti Kennedy pernah menguasai politik Amerika, John F. Kennedy menjadi Presiden Robert (Bob) Kenedi menjadi Jaksa Agung dan Edward (Ted) Kennedy menjadi calon presiden.
Baca Juga:Termasuk Gibran, 4 Nama Masuk Cawapres Prabowo Subianto, Awal Pekan Diumumkan
"Sedangkan di Asia, politik dinasti juga jamak, keluarga Gandhi pernah menguasai India begitu pun di negara lain, seperti Indonesia, Filipina dan Singapura," kata Yunianto dilansir dari Timlo.net--jaringan Suara.com, Minggu (15/10/2023).
Ditekankan, perlu pemahaman tentang politik dinasti ala kerajaan dan politik dinasti yang berjalan sesuai dengan prosedur demokrasi.
Dalam dinasti kerajaan, suksesi akan berasal dari kalangan keluarga secara turun temurun. Sedangkan dalam dinasti demokrasi, jabatan pimpinan politik didapatkan melalui perjuangan dan kerja keras dalam memenangkan pemilihan umum.
"Sehingga, ini sangat berbeda antara dinasti kerajaan dengan dinasti demokrasi," ungkapnya.
Menurutnya, fenomena anggota keluarga yang terjun di dunia politik mengikuti jejak ayah, ibu, kakek, tak pernah jadi masalah bagi demokrasi atau bagian dari perjalanan demokrasi Indonesia.
Baca Juga:Safari Politik di Sidoarjo, Anies Minta Warga yang Hadir Unggah Foto dan Video ke Medsos
Dia mencontohkan, seperti putri Soekarno, Megawati Soekarno Putri yang terjun ke dunia politik. Megawati juga melanjutkan karir ayahnya dengan menduduki jabatan Presiden ke-5 RI. Kini keturunan ketua umum PDIP itu, Puan Maharani maupun Prananda Prabowo memiliki peran politik masing-masing.
Sama halnya dengan Presiden ke-6 RI, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) beserta dua putranya yakni Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dan Eddy Baskoro (Ibas) dalam menjalankan peran politik mereka.
"Menurut saya dalam sistem demokrasi, politik dinasti itu tidak ada masalah dan merupakan dinamika dari demokrasi karena proses menjadi pemimpin itu juga melalui tahapan dan prosedur demokrasi," ujar Yunanto.
Disisi lain, Mahkamah Konstitusi juga telah mengeluarkan putusan perkara nomor 33/PUU-XIII/2015 yang melegalkan politik dinasti. Bahkan jika politik dinasti dilarang, berarti konstitusi akan melanggar Hak Asasi Manusia (HAM).
"Terutama hak sipil dan politik (Civpol) di mana memilih dan dan dipilih dalam jabatan publik dari keturunan siapa pun merupakan hak politik. Anak siapa pun, anak tukang sayur sama dengan anak presiden, di dalam politik bisa dipilih asal punya kemampuan. Jadi memang tidak ada aturan yang mengatur atau pelarangan terkait keturunan seseorang yang pernah menjabat jabatan politik untuk ikut berkontestasi," tegas Yunanto.
Dia menyayangkan ketidakpahaman masyarakat terkait isu yang beredar mengenai dinasti politik yang seolah menyudutkan keluarga Presiden Joko Widodo.
Isu tersebut juga ahistoris, karena menegasikan sejarah kepemimpinan politik di Indonesia yang sebagiannya diisi oleh dinasti yaitu anak atau keluarga tokoh politik yang pernah duduk di kursi kepemimpinan Indonesia.
Namun sisi lainnya, menurut Yunanto, keturunan politisi memiliki keuntungan yakni mendapatkan pendidikan politik secara intens dari orang tua atau pendahulunya.
"Hal ini karena mereka meyakini bahwa dunia politik itu medan perjuangan yang akan memberikan kemaslahatan bagi bangsa dan negara. Otomatis para orang tua ini mendukung putra-putrinya terjun di dunia politik. Masyarakat tak perlu ambil pusing tentang politik dinasti, apakah dia keturunan Soekarno, Suharto, SBY atau Jokowi atau masyarakat biasa lain. Yang terpenting bagaimana prosedur seseorang menjadi pemimpin politik sudah sejalan dengan prinsip demokrasi dan bukan karena warisan turun temurun," katanya.