SuaraSurakarta.id - ASEAN Para Games 2023 di Kamboja telah usai, 9 Juni lalu. Indonesia keluar sebagai juara umum dengan perolehan 158 medali emas, 148 perak dan 95 perunggu.
Hasil itu sekaligus mengukuhkan kontingen Merah Putih meraih gelar juara umum tiga kali beruntun alias hattrick, setelah sebelumnya di Malaysia dan Solo.
Suara.com yang masuk menjadi tim media NPC Indonesia turut mengawal perjalanan multievent disabilitas terbesar di Asia Tenggara. Beragam cerita dan keunikan Kamboja berhasil direkam.
Ada pemandangan yang menarik perhatian tentang kondisi geografi jalanan dari pusat kota Phnom Penh menuju Morodok Techo National Sports Complex.
Baca Juga:Hasil Akhir ASEAN Para Games 2023: Indonesia Juara Umum dengan 159 Medali Emas
Morodok yang berjarak sekitar 45 menit dari pusat kota merupakan lokasi pertandingan maupun perlombaan mayoritas cabor ASEAN Para Games 2023, sekaligus sebagai wisma atlet seluruh kontingen.
Gersang adalah komentar yang bisa tergambarkan saat memasuki kawasan Morodok di distrik Kandal setelah melewati jembatan di atas Sungai Tonle Sap. Namun, kawasan itu sejatinya dalam proses pengembangan menuju daerah modern.
Hal tersebut bisa dilihat dari jalan raya dengan masing-masing tiga ruas setiap arahnya. Di samping kanan-kiri, banyak tanah kosong yang sudah diurug dan siap untuk dibangun properti, mengingat terpasang deretan iklan promosi perumahan mewah, apartemen maupun pusat perbelanjaan.
Jika ditarik ke Indonesia, kondisi itu vibesnya mirip dengan kawasan Bumi Serpong Damai atau BSD City di Tangerang Selatan, Banten, sekitar enam tahun yang lalu saat masih banyak lahan kosong untuk dibangun sebagai pusat perekonomian.
"Ini lima sampai enam tahun lagi kondisinya pasti sudah berbeda. Kalau dilihat memang wilayahnya untuk pengembangan ekonomi dan kota satelis," kata salah satu tim media NPC Indonesia, Chandra Yoga bersama Suara.com menyusuri jalanan ruas Morodok ke Kota Phnom Penh mengendarai sepeda motor.
Baca Juga:Gadis Cantik Kamboja Ucap Assalamualaikum, Apakah Anda Islam?
Namun, kondisi 180 derajat berbeda telihat di sisi barat jembatan Prek Pnov. Truk-truk besar pembawa kontainer berlalu-lalang menembus panasnya kawasan itu dengan berjejer toko-toko maupun bengkel kendaraan.
"Mirip Tanjung Priok. Ada truk kontainer dan kapal-kapal meski ini di sungai ya. Kondisinya seperti di wilayah pelabuhan," ungkap fotografer NPC Indonesia, Agung Wahyudi.
Petualangan menyusuri jalan Morodok ke pusat kota Phnom Penh tak hanya berhenti sampai di titik itu. Suara.com kembali menyusuri ruas itu saat malam hari menggunakan kendaraan umum berupa bajai atau di Kamboja bernama Tuk-Tuk.
Berbeda dengan bajai Indonesia, di Kamboja setir kemudi mobil berada di sisi kiri dan kendaraan berjalan di sisi kanan. Kawasan distrik Kandal yang siang hari terlihat gersang berubah menjadi sebuah keindahan dengan nyala lampu jalanan.
Suasana semakin syahdu ketika kawasan itu dilihat dari atas jembatan Prek Pnov. Menyusuri jalanan dengan cuaca panas membawa Suara.com sampai di pusat kota Phom Penh.
Kaleng Bir Berserakan, Tapi Tanpa Rokok
Salah satu lokasi yang sempat menarik perhatian adalah kawasan hiburan malam. Salah satunya di wilayah Preah Ang Dunong 110 dan Khemarak Phoumin Ave 130 yang berjarak beberapa ratus meter saja dari Museum Nasional Kamboja atau di tepi Sungai Mekong.
Belasan wanita penghibur pun standby di depan pub maupun bar tempat mereka bekerja, sembari menunggu tamu maupun wisatawan datang.
Dari informasi yang didapatkan Suara.com, tarif untuk sekali kencan di lokasi itu sekitar 20-25 dolar AS.
"Harga pasaran sebesar itu. Tapi kalau ada yang minta lebih dari 50 dolar AS berarti penipuan," ungkap salah seorang sumber.
Seperti gambaran tempat hiburan malam, botol-botol miras jenis bir jadi pemandangan umum. Tak sedikit kaleng bir yang berserakan di tepi jalan maupun meja-meja di bar itu.
Hanya saja yang menjadi perhatian Suara.com, hampir tidak ada pengunjung, warga lokal maupun wanita penghibur yang menyalakan rokok. Padahal, di Kamboja tidak seperti di Filipina tentang larangan merokok di tempat umum maupun di pinggir jalan.
"Mungkin merokok bukan budaya warga sini ya," ucap salah satu jurnalis, Budi Cahyono. (Lanjut part 2)