SuaraSurakarta.id - Peristiwa Gerakan 30 September atau yang lebih dikenal dengan G30S menjadi tragedi berdarah kelam dalam sejarah Indonesia.
Pada masa, Partai Komunis Indonesia (PKI) sangat berkuasa dan sangat kejam. Bahkan partai berlambang palu dan arit itu kerap disebut menciptakan berbagai peristiwa tragedi berdarah.
Pengalaman lucu namun menegangkan pernah dirasakan pria asal Solo, Heri Isranto atau yang akrab disapa Gogor ketika berhadapan dengan anggota PKI.
Betapa tidak, sosok yang juga Humas NPC Indonesia pernah lari tunggang-langgang gegara dikejar anggota PKI di depan rumahnya.
Baca Juga:Kasus Prostitusi Gay di Solo, Hasil Visum Kepolisian Ternyata Mengejutkan!
Kebetulan, markas PKI Solo saat itu hanya berjarak beberapa meter saja dari rumah mendiang sang kakek di Honggowongso atau selatan Pasar Kembang.
![Heri Isranto (kiri) (Istimewa)](https://media.suara.com/pictures/653x366/2020/09/30/35596-heri-isranto.jpg)
Meski saat itu usianya baru delapan tahun, dia pernah merasakan keberingasan PKI.
"Saya yang sekecil itu saja sudah mendapat ancaman mulai kata-kata dan sempat diberi keringat ketiak dikasihkan ke hidung saya," ungkap Gogor saat berbincang dengan Suarasurakarta.id.
Namun sebagai putra seorang anggota militer, Si Anak Macan itu mengaku nalurinya keluar dan reflek memberanikan diri membalas dengan menendang sang anggota PKI tersebut.
"Saya tendang kakinya lalu dikejar sambil diteriaki kata-kata kotor. Oleh tetangga akhirnya diberi tahu untuk tidak mengejar," papar dia.
Baca Juga:Berdiri Tugu Palu Arit di Palembang, Puluhan Kantor Serikat Buruh
Tak hanya dialami dirinya dan keluarga, Gogor tak pernah lupa banyaknya orang yang dibawa ke markas PKI itu lalu disiksa.
"Sering saya melihat orang dibawa masuk lalu terdengar suara dipukuli. Pokoknya benar-benar biadab," kecamnya.
Sebagai catatan, kakeknya adalah Mangku Suwiryo, Mangku Sunarto (partisipan PNI), serta Sudiyono (aktivis Muhammadyah).
Keluarga sang kakek memang berasal dari kalangan ningrat dan memiliki rumah di Jalan Honggowongso serta Masjid At Taqwa. Bangunan rumah dan lahan besar itu besrta masjid lantas diwakafkan dan menjadi SMA Al Islam Solo yang terletak depan markas PKI Solo.
"Kebetulan rumah kakek saya itu aktivis Muhammadyah. Mbah-mbah saya di situ dan berhadapan dengan rumah pribadi kyai Nahdatul Ulama (Kyai Firas)," jelasnya.
Selain itu, Gogor bersama keluarga besarnya sempat mendapatkan sebuah fakta tertulis yang membuat bulu kuduk berdiri. Hal itu tak lain karena keluarganya masuk dalam rencana eksekusi PKI Solo.
"Tebukti dokumennya PKI bahwa keluarga saya, lalu H Asngat dan H Sangidu (ayah dari pendiri Ormas Mega Bintang, Mudrick M Sangidu) masuk dalam daftar eksekusi mereka dan dibuatkan lubang untuk mengubur semua," ujar dia.
"Karena apa? Ketiganya tokoh agama saat itu. Seperti kakek saya yang mewakafkan masjid At Taqwa. Pemrakas KH Ghozali, dan pendanaan H Asngat yang kakak beradik dengan H Sangidu," tambah dia.
Pria yang kinu aktif sebagai pengurus National Paralympic Commitee (NPC) Indonesia menyebut pengalaman pahit itu menjadi cerita yang tidak bisa dilupakan, dan bersyukur ia bersama keluarga masih dilindungi Allah SWT.
"Saya pribadi jangan sampai komunis itu tumbuh lagi di Indonesia. Itu sangat membahayakan, karena saya sangat mengalami sendiri," pungkas Heri Isranto.