SuaraSurakarta.id - Sejumlah kerabat Keraton Kasunanan Surakarta mulai adik Raja Pakubowono (PB) XIII, GKR Koes Moertiyah Wandansari, berziarah ke makam raja-raja Mataram di Imogiri, Bantul, Minggu (14/2/2021).
Ziarah itu dilakukan sehari setelah Gusti Moeng dan sejumlah kerabat, termasuk putri sang raha GKR Timoer Rumbai tebebas dari tragedi terkurung di keraton selama tiga hari dua malam.
“Saya bersama sentana dan abdi dalem berziarah ke makam para leluhur. Saya berdoa agar aktivitas budaya keraton dapat terus berjalan, rukun, dan damai. Lalu, semoga dijauhkan dari bahaya serta orang-orang tidak berkepentingan yang mengaku utusan raja. Orang-orang itu justru memperkeruh suasan keraton dan menghambat perdamaian,” kata Gusti Moeng.
Gusti Moeng memaparkan, ziarah ke makam leluhur dilakukan sekaligus untuk memohon kepada Tuhan agar kondisi Keraton Surakarta segera membaik.
Baca Juga:Geger Keraton Solo, GKR Rumbai: Tidak Mungkin Kami Mengurung Diri
Ia memiliki mengambil hikmah dari kejadian tersebut. Meskipun harus tidur beralaskan tikar dan makan dedaunan, Gusti Moeng dapat mengetahui kondisi di dalam Keraton Solo seusai diusir pada 2017 lalu.
Ia menyebut kondisi dalam keraton sangat memprihatinkan, bangunan cagar budaya rusak tidak terawat. Gusti Moeng mendokumentasikan seluruh kondisi keraton itu.
Sebelumnya, Gusti Moeng terkurung di dalam keraton bersama GKR Timoer Rumbai Kusuma Dewayani yang merupakan putri kandung PB XIII, dua abdi dalem penari, dan seorang sentono dalem.
Usai pengusiran 2017 lalu, Gusti Moeng dan para gusti lain tidak dapat masuk ke keraton karena tak memperoleh izin dari Sinuhun PB XIII. Hal itu membuat aktivitas adat dan budaya keraton tidak berjalan semestinya. Hal itu juga dikarenakan tertutupnya akses abdi dalem dan abdi dalem garap.
“Kegiatan pengembangan budaya dan penelitian di Sasana Pustaka juga berhenti. Kondisi dokumen, naskah, budaya, warisan leluhur kami tidak tahu,” papar dia.
Baca Juga:Konflik Keraton Solo, Gusti Moeng: Kami Ingin Menyelamatkan Sinuhun
Ia berharap polemik keraton segera berakhir karena sangat berdampak pada pengembangan budaya jawa. Polemik itu menjadi kerugian masyarakat adat dan seluruh warga Indonesia.