- Perebutan takhta Keraton Surakarta memanas setelah wafatnya Paku Buwono XIII awal November 2025, memicu klaim suksesi dari dua putranya.
- Purboyo mengklaim takhta pada 5 November 2025 berdasarkan surat wasiat 2022, ditentang oleh Tejowulan yang memegang mandat Kemendagri.
- Kondisi dualisme tahta mengeras ketika Mangkubumi mendeklarasikan diri pada 13 November 2025 mengacu pada adat putra sulung sebagai penerus sah.
Gusti Moeng, putri PB XIII lainnya, menyatakan bahwa Mangkubumi adalah putra sulung yang menurut adat berhak naik tahta. Legitimasi berbasis adat ini menjadi tandingan kuat terhadap surat wasiat Purboyo.
Babak 8: Tejowulan Hadir Dalam Acara tetapi Mengaku Tidak Tahu Agenda Penobatan
Tedjowulan hadir dalam agenda keluarga pada 13 November, tetapi ia mengaku tidak menyadari bahwa acara itu akan berujung pada penobatan Mangkubumi. Ia menegaskan hadir hanya sebagai tamu, bukan pendukung salah satu pihak.
Babak 9: Tejowulan Menyatakan Kedua Penobatan Belum Sah
Sebagai pengelola keraton berdasarkan SK Kemendagri, Tejowulan menilai kedua deklarasi—baik 5 November maupun 13 November—belum memiliki validitas penuh. Ia menyebut belum ada proses adat maupun administrasi yang mengesahkan salah satu pihak.
Babak 10: Dualisme Tahta Semakin Mengeras
Dengan adanya dua deklarasi resmi dalam rentang 8 hari setelah wafatnya PB XIII, Keraton Solo berada dalam situasi dualisme. Purboyo mengandalkan wasiat, sedangkan Mangkubumi mengandalkan garis keturunan adat.
Pertarungan dua legitimasi ini membuat publik bertanya siapa yang benar benar sah memimpin Keraton Surakarta.
Konflik ini menunjukkan betapa rapuhnya mekanisme suksesi di Keraton Surakarta. Dalam rentang waktu yang sangat singkat sejak PB XIII wafat, keputusan yang diambil secara tergesa gesa justru memperlebar jurang perbedaan di dalam keluarga.
Baca Juga: Bikin Dompet Tebal! Saldo DANA Kaget Rp299 Ribu Menanti, Sikat 4 Link Ini Sekarang!
Ketidakhadiran musyawarah adat yang jelas membuat suksesi menjadi ajang perebutan legitimasi, bukan kesepakatan bersama.
Ke depan, tanpa mekanisme yang disepakati oleh seluruh keluarga besar dan tokoh adat, keraton berpotensi kembali mengalami dualisme serupa setiap kali terjadi pergantian raja.
Pertanyaannya kini, apakah keraton mampu menemukan jalan tengah yang menjaga kewibawaan adat sekaligus menghormati garis keturunan raja?
Kontributor : Dinar Oktarini
Berita Terkait
Terpopuler
- 5 Sepatu Running Lokal Paling Juara: Harga Murah, Performa Berani Diadu Produk Luar
- 8 Mobil Bekas Sekelas Alphard dengan Harga Lebih Murah, Pilihan Keluarga Besar
- 7 Bedak Padat yang Awet untuk Kondangan, Berkeringat Tetap Flawless
- 5 Rekomendasi Tablet dengan Slot SIM Card, Cocok untuk Pekerja Remote
- 5 Pilihan HP Snapdragon Murah RAM Besar, Harga Mulai Rp 1 Jutaan
Pilihan
-
Pertemuan Mendadak Jusuf Kalla dan Andi Sudirman di Tengah Memanasnya Konflik Lahan
-
Cerita Pemain Keturunan Indonesia Han Willhoft-King Jenuh Dilatih Guardiola: Kami seperti Anjing
-
Mengejutkan! Pemain Keturunan Indonesia Han Willhoft-King Resmi Pensiun Dini
-
Kerugian Scam Tembus Rp7,3 Triliun: OJK Ingatkan Anak Muda Makin Rawan Jadi Korban!
-
Ketika Serambi Mekkah Menangis: Mengingat Kembali Era DOM di Aceh
Terkini
-
KGPH Mangkubumi Dinobatkan PB XIV, Kubu PB XIV Purboyo Bakal Tempuh Jalur Hukum
-
Momen Haru Wiranto Antar Jenazah Istri ke Peristirahatan Terakhir, Doa dan Tangis Pecah di Pemakaman
-
Wong Solo Merapat! Saldo DANA Kaget Rp299 Ribu Siap Bikin Hidup Makin Ceria, Sikat 4 Link Ini!
-
Komitmen Golkar di Tengah Tantangan Ekonomi: Alia Noorayu Laksono Turun Bantu Ratusan Keluarga
-
10 Babak Perebutan Takhta Keraton Solo: Kisah Lengkap Dua Putra Raja yang Saling Mengklaim