Ronald Seger Prabowo
Sabtu, 08 November 2025 | 15:25 WIB
Presiden ke-5 RI Megawati Soekarnoputri saat di Balai Senat UGM, Rabu (1/10/2025). (dok.Istimewa)
Baca 10 detik
  • Syurya menilai, banyak pemimpin masa lalu yang bisa menjadi contoh bagaimana berdamai dengan sejarah tanpa menghapus sikap kritis terhadap masa lalu.
  • Ia menyebut nama Gus Dur, Taufiq Kiemas, dan Prabowo Subianto sebagai teladan.
  • Terkait jasa Soeharto di bidang pembangunan nasional, Syurya menilai penilaian sejarah harus dilakukan secara adil.

SuaraSurakarta.id - Sikap Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri yang menolak pemberian gelar pahlawan nasional kepada Presiden ke-2 RI, Soeharto, menunjukkan bahwa bangsa Indonesia belum sepenuhnya berdamai dengan masa lalunya.

Sebagai mantan presiden dan tokoh nasional, Megawati semestinya menampilkan sikap kenegarawanan yang menjadi contoh bagi seluruh rakyat.

“Ibu Mega sebagai mantan Presiden seharusnya menunjukkan sikap kenegarawan yang menjadi panutan. Bangsa ini adalah bangsa yang penuh rasa — termasuk rasa maaf yang seharusnya dicontohkan dari para pemimpinnya,” ujar Dosen Komunikasi Politik Universitas Esa Unggul, Syurya M Nur kepada Wartawan, Sabtu (8/11/2025).

Ia menilai, bila penolakan tersebut berakar pada pengalaman keluarga Soekarno di masa lalu, keputusan itu justru berisiko menumbuhkan politik dendam yang dapat menghambat agenda rekonsiliasi nasional yang digagas Presiden Prabowo Subianto.

“Pak Prabowo saya kira tidak akan marah atau dendam. Tapi kalau semangat rekonsiliasi yang digagas beliau diganggu, itu bisa mengacaukan program besar menuju kolaborasi nasional. PDIP ini partai besar, punya pengaruh luas di daerah,” kata Syurya.

Syurya menilai, banyak pemimpin masa lalu yang bisa menjadi contoh bagaimana berdamai dengan sejarah tanpa menghapus sikap kritis terhadap masa lalu. Ia menyebut nama Gus Dur, Taufiq Kiemas, dan Prabowo Subianto sebagai teladan.

“Para pendahulu seperti Gus Dur dan Taufiq Kiemas sudah selesai dengan masa lalu. Mereka menunjukkan bahwa politik kita seharusnya politik cinta damai, cinta kasih, dan welas asih. Rakyat jangan terus disuguhi narasi dendam,” pungkasnya.

Terkait jasa Soeharto di bidang pembangunan nasional, Syurya menilai penilaian sejarah harus dilakukan secara adil.

“Kita harus fair. Jasa Soeharto di bidang pembangunan, pangan, dan stabilitas nasional tidak bisa dihapus hanya karena kontroversi politik. Kita tahu ada dinamika, tapi itu sudah selesai. Sekarang tugas kita melanjutkan hal-hal baik dari masa itu,” ungkapnya.

Baca Juga: Jelang Pengumuman Ketua DPD PDIP Jateng, Muncul Spanduk Dukungan ke FX Rudy, Fix Terpilih?

Mahasiswa doktoral Ilmu Komunikasi Universitas Sebelas Maret (UNS) ini menambahkan, pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto justru bisa menjadi simbol kebesaran bangsa.

“Itu bukti bahwa Indonesia mampu mengakui jasa siapa pun tanpa membawa dendam sejarah. Narasi dendam harus dihapus oleh para elit politik,” katanya.

Syurya menutup dengan pesan agar para pemimpin bangsa berhenti memproduksi narasi yang memecah belah dan lebih mengedepankan komunikasi politik yang sejuk.

“Saya heran, kenapa para elite suka sekali membangun narasi dendaman. Sebagai pemimpin, mereka seharusnya memberi contoh bagi rakyat, dengan komunikasi yang baik, menyejukkan, dan membangun persaudaraan,” tegas Syurya.

Load More