Scroll untuk membaca artikel
Ronald Seger Prabowo
Jum'at, 21 Maret 2025 | 12:34 WIB
Proses kirab malam selikuran Keraton Kasunanan Surakarta, Kamis (20/3/2025) malam. [Suara.com/Ari Welianto]

SuaraSurakarta.id - Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat menggelar kirab hajad dalem malam selikuran pasa je 1958, Kamis (20/3/2025) malam.

Ada ratusan abdi dalem, sentana dalem hingga kerabat keraton yang mengikuti kirab malam selikuran dari Kori Kamandungan menuju kupel segaran Taman Sriwedari dengan melewati Jalan Slamet Riyadi.

Kirab malam selikuran dipimpin langsung oleh Raja Keraton Sinuhun Paku Buwono (PB) XIII yang didampingi Permaisuri Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Paku Buwono. Tampak putra putri dalem juga ikut dalam kirab malam selikuran tersebut.

Dalam kirab malam selikuran mereka membawa lampion, lampu ting dan jodang yang berisi makanan.

Baca Juga: Ramadan Booyah! Keseruan Turnamen Free Fire di Solo Techonpark, Ratusan Player Ikut Serta

Pengageng Sasana Wilapa Keraton Kasunanan Surakarta KP Dany Nur Adiningrat mengatakan bahwa ini adalah hajad dalem malam selikuran. Ini atas dawuh Sinuhun PB XIII.

"Seperti tahun-tahun sebelumnya ketika bulan ramadhan, ini kebetulan tahun je 1958, kita mengadakan upacara malam selikuran," terangnya, Kamis (20/3/2025).

Dany menjelaskan malam selikuran ini memperingati bahwa sudah memasuki malam ke-21, jadi sudah masuk malam ganjil dan masuk malam lailatul qadar. 

"Jadi rangkaian upacara ini dari keraton ke kebon raja Sriwedari. Jadi ini sudah masuk malam ganjil," kata dia.

Dany mengatakan untuk iring-iringannya itu utusan dalem membawa tumpeng sewu. Tumpeng sewu sendiri maknanya malam seribu bulan, untuk lampung ting itu cahaya malam seribu bulan.

Baca Juga: Sejarah Panjang Bubur Samin, Takjil Legendaris Ramadan di Solo

"Jadi ini upacara keagamaan yang dibalut budaya untuk mengingatkan di malam-malam ganjil lah, insya allah turun malam lailatul qadar," ungkapnya.

Menurutnya kirab malam selikuran ini diikuti oleh ribuan peserta. Usai sampai di Taman Sriwedari rombongan diterimakan oleh Wali Kota Solo Respati Ardi.

"Jadi sinergitas antara pemkot dengan keraton seperti tahun-tahun sebelumnya berjalan dengan baik. Insya allah ada pengajian juga untuk memperingati malam ganjil ini," jelas dia.

Jadi malam ini untuk mengingatkan kepada abdi dalem, para sentono dalem, semua putra putri dalem juga hingga seluruh masyarakat Solo bahwa sudah menginjak malam ke-21. 

"Maka ibadahnya diperbanyak, dipertekun, itikaf di masjid-masjid berdoa kepada Allah SWT. Bahwasanya semoga amal ibadah kita diterima dan juga semoga bulan ramadhan ini menginspirasi sebelas bulan yang lainnya," pungkasnya.

Malam Selikuran sebenarnya sudah dimulai sejak kepemimpinan Pakubuwana X menjadi raja Surakarta. Dahulu, setiap malam 21 Ramadan, Sang Raja akan memerintahkan semua penduduk untuk memmbawa lampu ting atau pelita.

Abdi dalem dan kerabat Keraton Surakarta Hadiningrat mengikuti Kirab Malam Selikuran dari Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat menuju Masjid Agung, Solo, Jawa Tengah, Sabtu (25/5). ANTARA FOTO/Mohammad Ayudha/

Setelah itu, seluruh penduduk setempat akan mengadakan doa di Masjid Agung Surakarta dengan membawa Hajad Dalem Tumpeng Sewu (seribu tumpeng) sebagai simbol malam seribu bulan.

Dahulu, setiap Malam Selikuran, halaman depan Masjid Agung akan dipenuhi masyarakat seperti pasar malam.

Namun, karena Keraton Surakarta sudah memiliki pasar malam sendiri saat Sekaten, maka Pakubuwana X memindahkan Malam Selikuran ke Taman Sriwedari.

Karena itu, hingga saat ini, tradisi tersebut dilakukan di Taman Sriwedari.

Meski begitu, tradisi ini sempat berhenti pada masa Pakubuwana XII bertahta. Namun, saat HR Hartono menjadi Wali Kota Surakarta, tradisi Malam Selikuran kembali dilaksanakan.

Terlepas dari hal itu, konon tradisi Malam Selikuran ini sudah ada sejak zaman Wali Songo, yakni Sing Linuwih Ing Tafakur yang artinya giat mendekatkan diri kepada Allah pada malam-malam terakhir bulan Ramadan.

Hal itu kemudian disesuaikan dengan budaya Jawa hingga muncullah tradisi Malam Selikuran.

Selain itu, tradisi Malam Selikuran ini juga ada kaitannya dengan petuah yang ditulis oleh Pakubuwana IV dalam salah satu karyanya, yakni Serat Wulangreh dalam tembang Dhandhanggula.

Secara harfiah, Serat Wulangreh tersebut berisi pengajaran dan perintah yang ingin mengungkap kedalaman makna Al-Quran.

Kontributor : Ari Welianto

Load More