Scroll untuk membaca artikel
Ronald Seger Prabowo
Jum'at, 01 Desember 2023 | 21:17 WIB
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Solo menggelar diskusi para editor tentang "Penguatan Informasi Terhadap Kelompok Marjinal" di Hotel Megaland, Jumat (1/12/2023). [Dok AJI Kota Solo]

SuaraSurakarta.id - Dapur redaksi menjadi nakhoda penting pemberitaan sebuah media, termasuk dalam mengangkat isu kelompok marjinal.

Untuk itu, editor, redaktur pelaksana hingga pemimpin redaksi (pemred) memiliki peran yang sangat penting sebelum sebuah berita disajikan ke masyarakat luas.

Hal tersebut tersaji dalam pertemuan awak redaksi serta diskusi mengenai isu minoritas dan kelompok marjinal di dapur redaksi dalam "Editor Meeting Penguatan Informasi Terhadap Kelompok Marjinal" yang digelar Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Solo di Hotel Megaland, Jumat (1/12/2023).

Diskusi itu dihadiri 11 redaktur, editor, atau redaktur pelaksana (redpel) dari 11 media yang berbeda, dari skala nasional hingga lokal Kota Solo.

Baca Juga: Gibran Pagi-pagi Sowan ke Gus Miftah di Ponpes Ora Aji, Bahas Pemenangan di Yogyakarta?

Ketua AJI Kota Solo Mariyana Ricky PD, menjelaskan kegiatan tersebut salah satunya bertujuan memperoleh gambaran mengenai perspektif redaksi.

"Selain itu juga untuk memperoleh dukungan dan kendala apa dalam penguatan informasi terhadap kelompok marjinal," kata Nana, sapaan akrabnya.

Menjelang pemilu yang akan dilaksanakan tahun depan, menurutnya, penggorengan isu marjinal dan hoaks meningkat tajam.

"Para politisi pun ada yang menyuarakan sekaligus mengeksploitasi ujaran kebencian. Ironisnya, masyarakat dan media menjadi echo dan mengamplifikasi pernyataan tersebut," jelas dia.

Ia juga menyayangkan politik identitas yang hingga saat ini masih terus terdengar. Menurut dia, hal itu terjadi karena sebagian masyarakat masih belum mengenal keberagaman.

Baca Juga: FOXS Indonesia Para Badminton International 2023: Kejutan Dimas Tri Aji Kalahkan Unggulan Ketiga

"Di sisi lain, kelompok minoritas memiliki suara yang lemah. Mereka tak banyak mendapat perhatian suara, media, dan sokongan, karena tidak mendulang klik," paparnya.

Ia mencontohkan saat ini banyak kelompok, seperti agama lokal, yang belum mendapatkan ruang proporsional.

"Melihat kondisi ini, saya melihat media berperan penting untuk melakukan edukasi melalui pemberitaan yang berimbang, netral, dan melakukan verifikasi," ujar Nana.

Diskusi tersebut mengundang sejumlah redaktur pelaksana (redpel) dari media nasional hingga lokal.

"Pertemuan para editor ini merupakan sarana berbagi informasi mengenai berbagai isu dan pemberitaan media. Sebagaimana diketahui, dapur redaksi menjadi nakhoda pemberitaan media. Oleh karenanya editor, redpel, dan pemimpin redaksi (pemred) memiliki peran yang sangat penting," tegas dia.

Sementara Redpel Solopos, Danang Nur Ichsan menuturkan, industri media cetak terbagi menjadi dua yakni cetak dan online. Di media cetak relatif lebih tersaring karena banyak yang terlibat. Kondisi tersebut berbeda dengan media online.

Proses penyarinag produk jurnalistik yang lebih longgar di media online turut menjadi tantangan tersebdiri. Selain itu, traffic juga menjadi parameter utama.

"Tantangan selanjutnya adalah bagaimana membangun keseimbangan. Caranya mungkin bisa cari traffic dari sisi lain, untuk isu KKB lebih pilih ke isu lainnya yang tidak menjegal minoritas seperti menyebut sesat. Sayangnya, sekarang isu menegenai steriotipe memiliki keterbacaan yang tinggi," kata Danang.

"Ketika sudah ada ruang, Bagaimana bungkusnya, takutnya kita memberi ruang tapi malah membuat mereka terdiskriminasi. Jadi harus ada pemahaman lagi di pengemasan isu KKB," sambungnya.

Danang menambahkan, dapur media online tak hanya berisi para jurnalis, melainkan menjadi beragam dari penulis konten atau content writer hingga tim yang mengelola media sosial.

"Apakah mereka dapat pembekalan yang sama dengan jurnalis. Sekarang semua media punya medsos, tapi apakah mereka punya pelajaran tentang kode etik jurnalistik yang jadi fundamental media," paparnya.

Load More