Scroll untuk membaca artikel
Budi Arista Romadhoni
Jum'at, 08 Oktober 2021 | 16:26 WIB
Ilustrasi televisi. Memiliki televisi di kampung ini haram hukumnya, hal itu karena penduduk percaya akan mitos. (Shutterstock)

SuaraSurakarta.id - Televisi (TV) memang sudah bukan barang langka lagi. Setiap keluarga pasti memiliki perangkat elektronik yang sering disebut layar kaca tersebut. 

Selain menjadi sarana hiburan, TV menjadi media penyalur informasi. Namun, siapa sangka, salah satu kampung terpencil di Kabupaten Sragen ini justru mengharamkan warganya memiliki TV.

Menyadur dari Solopos.com, kampung tersebut bernama Singomodo yang berlokasi di Desa Kandangsapi, Kecamatan Jenar, Sragen. Kampung ini berlokasi di perbatasan wilayah Sragen dengan Kabupaten Grobogan dan Kabupaten Ngawi.

“Memang benar, di Dukuh Singomodo itu tidak ada warga yang memiliki TV dan radio tape. Itu terkait sejarah dari dukuh itu,” ujar Kepala Desa Kandangsapi, Pandu, Jumat (8/10/2021).

Baca Juga: Bikin Merinding! Halaman Rumah Warga di Sragen Ini Kuburan Massal 11 Terduga Anggota PKI

Pandu menjelaskan di Kampung Singomodo, terdapat sebuah makam ulama yang dipercaya sebagai seorang wali. Ulama itu bernama Syekh Nasher atau Eyang Singomodo. “Nama panggilannya itu Mbah Gedong,” papar Pandu.

esa Kandangsapi, Kecamatan Jenar, Sragen (twitter)

Usut punya usut, warga Kampung Singomodo yang mengharamkan TV dan radio tape itu ternyata percaya akan sebuah mitos yang sulit dicerna dengan akal sehat.

Kemuculan mitos itu bermula dari kisah Syekh Nasher dalam menyebarkan agama Islam di wilayah setempat pada masa lalu.

Eyang Singomodo dikenal sebagai salah satu tokoh wali keturunan Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat pada masa kepemimpinan PB II.

Eyang Singomodo memilih keluar dari Keraton untuk menyebarkan ajaran Islam. Bersama pengikutnya, Eyang Singomodo kemudian mendirikan sebuah padepokan di kawasan yang saat ini dikenal dengan nama Dukuh Singomodo.

Baca Juga: Wanita Taruh TV Baru di Pinggir Jalan Biar Ditanya Tetangga, Endingnya Tak Terduga

Untuk menandai batas wilayah Kampung Singomodo, Syekh Nasher membuat pematang di sekeliling kampung. Hingga kini, pematang yang mengitari kampung itu juga masih ada.

Suatu hari, Syekh Nasher mengajak pengikutnya membangun rumah sebagai tempat tinggal. Namun ada salah satu pengikut bandel. Alih-alih ikut membantu membuat tempat tinggal, pengikut itu malah kepincut nonton ledek.

Karena dianggap balela dan melanggar norma kesopanan, salah satu pengikut dan seorang ledek itu akhirnya dipanggil Syekh Nasher. Keduanya langsung ditawari menikah dan diminta tinggal ke barat jalan atau memisahkan diri, sedangkan Syekh Nasher dan pengikut setianya tinggal di timur jalan.

Syekh Nasher kemudian mengeluarkan maklumat melarang pengikut yang tinggal di wilayah timur jalan mendengarkan atau membunyikan gamelan yang biasa dipakai untuk mengiringi sinden. Mereka juga dilarang menggelar hajatan atau hiburan yang mengundang sinden jika tidak ingin mendapat musibah.

Dari sinilah mitos itu terlahir. Hingga kini, warga setempat tidak ada yang berani menonton sinden apalagi memutar musik gamelan.

Bahkan, demi memegang teguh kepercayaan itu, warga mengharamkan TV dan radio tape. Sebab, dikhawatirkan TV dan radio tape itu akan menyajikan siaran terkait pertunjukan sinden.

Padahal, bagi warga di utara Sungai Bengawan Solo, khususnya di wilayah Jenar dan Tangen, ada anggapan yang menyebut bila belum meriah suatu hajatan yang digelar warga bila tidak mengundang sinden tarub.

Konon, ada salah seorang warga yang pernah nekat mengundang sinden. Warga tersebut berusaha mengingkari mitos yang sudah berkembang secara turun temurun. Pada awalnya, semua masih berjalan lancar. Sinden itu datang untuk memeriahkan acara hajatan warga itu. Namun, kejadian nahas terjadi hanya beberapa saat setelah sinden itu meninggalkan kampung.

Saat mengantar kepergian sang sinden, warga tersebut tiba-tiba kejatuhan buah kelapa tepat di kepalanya. Hingga akhirnya warga tersebut meninggal dunia. Kejadian itu makin menguatkan adanya mitos yang berkembang secara turun temurun itu. Hingga kini, Singomodo pun mendapat julukan kampung antisinden.

“Kalau ada hajatan di Kampung Singomodo, [suara musik] yang boleh diputar hanya syair-syair Islam. Selain itu tidak boleh. Apalagi itu [mengundang sinden] dan minuman keras seperti bir,” ujar Kepala Desa Kandangsapi, Pandu.

Load More