Scroll untuk membaca artikel
Ronald Seger Prabowo
Jum'at, 29 Januari 2021 | 15:49 WIB
Ribuan massa gabungan ormas islam melakukan aksi demonstrasi di depan gedung DPR RI, Jakarta, Jumat (29/9).

SuaraSurakarta.id - Heri Isranto, pria asal Solo itu tak pernah lupa Keberingasan dan suasana mencekam Partai Komunis Indonesia (PKI), termasuk di Bumi Bengawan.

Gogor, sapaan akrabnya yang merajuk artian anak macan paham betul kekejaman partai berlambang palu arit tersebut. Maklum saja, tinggal bersama sang kakek tepat di depan markas PKI di Solo. Tepatnya di Jalan Honggowongso atau selatan Pasar Kembang.

"Saya masih ingat DN Aidit (pemimpin senior PKI) sering bolak-balik berkunjung ke rumah itu," ungkap Gogor saat berbincang dengan SuaraSurakarta.id belum lama ini.

Pria yang juga pemerhati olahraga Kota Solo tersebut, Gogor tak bisa melupakan berbagai kejadian memilukan yang terjadi di sekitar tahun 1965.

Baca Juga: Jatah BST Periode 10 Kota Solo Ditambah 7500 Orang

Meski saat itu usianya baru delapan tahun, dia pernah merasakan keberingasan PKI.

"Saya yang sekecil itu saja sudah mendapat ancaman mulai kata-kata dan sempat diberi keringat ketiak dikasihkan ke hidung saya," ucapnya.

Namun sebagai putra seorang anggota militer, Si Anak Macan itu mengaku nalurinya keluar dan reflek memberanikan diri membalas dengan menendang sang anggota PKI tersebut.

"Saya tendang kakinya lalu dikejar sambil diteriaki kata-kata kotor. Oleh tetangga akhirnya diberi tahu untuk tidak mengejar," papar dia.

Tak hanya dialami dirinya dan keluarga, Gogor tak pernah lupa banyaknya orang yang dibawa ke markas PKI itu lalu disiksa.

Baca Juga: Gara-gara Ini, Sekda Kota Solo Nyaris Batal Divaksin Tahap Kedua

"Sering saya melihat orang dibawa masuk lalu terdengar suara dipukuli. Pokoknya benar-benar biadab," kecamnya.

Sebagai catatan, kakeknya adalah Mangku Suwiryo, Mangku Sunarto (partisipan PNI), serta Sudiyono (aktivis Muhammadyah).

Heri Isranto (kiri) (Istimewa)

Keluarga sang kakek memang berasal dari kalangan ningrat dan memiliki rumah di Jalan Honggowongso serta Masjid At Taqwa. Bangunan rumah dan lahan besar itu besrta masjid lantas diwakafkan dan menjadi SMA Al Islam Solo yang terletak depan markas PKI Solo.

"Kebetulan rumah kakek saya itu aktivis Muhammadyah. Mbah-mbah saya di situ dan berhadapan dengan rumah pribadi kyai Nahdatul Ulama (Kyai Firas)," jelasnya.

Selain itu, Gogor bersama keluarga besarnya sempat mendapatkan sebuah fakta tertulis yang membuat bulu kuduk berdiri. Hal itu tak lain karena keluarganya masuk dalam rencana eksekusi PKI Solo.

"Tebukti dokumennya PKI bahwa keluarga saya, lalu H Asngat dan H Sangidu (ayah dari pendiri Ormas Mega Bintang, Mudrick M Sangidu) masuk dalam daftar eksekusi mereka dan dibuatkan lubang untuk mengubur semua," ujar dia.

"Karena apa? Ketiganya tokoh agama saat itu. Seperti kakek saya yang mewakafkan masjid At Taqwa. Pemrakas KH Ghozali, dan pendanaan H Asngat yang kakak beradik dengan H Sangidu," tambah dia.

Pria yang kinu aktif sebagai pengurus National Paralympic Commitee (NPC) Indonesia menyebut pengalaman pahit itu menjadi cerita yang tidak bisa dilupakan, dan bersyukur ia bersama keluarga masih dilindungi Allah SWT.

"Saya pribadi jangan sampai komunis itu tumbuh lagi di Indonesia. Itu sangat membahayakan, karena saya sangat mengalami sendiri," pungkas Heri Isranto.

Load More