Pengepul Susu Boyolali Terancam Tutup Gara-gara Rekening Diblokir, Ribuan Peternak Sapi Perah Kena Dampak

Hal itu setelah rekening tempat usahanya diblokir oleh kantor KPP Pratama pajak setempat.

Ronald Seger Prabowo
Senin, 04 November 2024 | 18:32 WIB
Pengepul Susu Boyolali Terancam Tutup Gara-gara Rekening Diblokir, Ribuan Peternak Sapi Perah Kena Dampak
Pemilik UD Pramono Boyolali saat ditemui Suara.com, Senin (4/11/2024). [Suara.com/Ari Welianto]

SuaraSurakarta.id - Usaha Dagang (UD) Pramono sebagai pengepul susu sapi di Desa Singosari, Kecamatan Mojosongo, Boyolali terancam tidak akan beroperasi atau tutup.

Hal itu setelah rekening tempat usahanya diblokir oleh kantor KPP Pratama pajak setempat.

Akibatnya, sekitar 1.300 peternak sapi perah di Boyolali dan Klaten pun terancam akan kena dampaknya. Karena UD Pramono selama ini menjadi tempat bagi peternak yang menjual susunya.

Saat ini masih beroperasi sambil menunggu hasil atau perkembangan dari Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Boyolali yang akan membantu penyelesaian persoalan ini. 

Baca Juga:Tanding Fun Football di Boyolali, Kaesang Pangarep Pede Pakai Jersey 'Putra Mulyono'

"Ini masih beroperasi atas permintaan Dinas Peternakan Boyolali. Sampai mana penyelesaiannya saya tunggu kabar dari dinas, jadi sampai sekarang masih ngambil susu sambil menunggu perkembangannya," terang Pemilik UD Pramono Boyolali, Pramono saat ditemui Suara.com, Senin (4/11/2024).

Bukan tanpa alasan Pramono akan menutup usahanya yang telah beroperasi selama puluhan tahun. Karena tidak sanggup membayar pajak sebesar Rp 671 juta, padahal tahun-tahun sebelumnya besarannya tidak segitu dan aktif membayar secara rutin.

"Saya tidak sanggup bayar. Usaha pun akan ditutup," ungkapnya.

Pramono menceritakan membuka usaha sekitar tahun 2015 atau 2016 lalu. Waktu itu untuk membayar pajak minta tolong kantor pajak mengingat pendidikannya hanya SD, sehingga tidak bisa mengurus administrasinya.

"Tahun 2015, 2016, 2017 itu saya bayar pajak Rp 10 juta per tahun. Tahun 2018 karena persaingannya ketat, saya minta diturunkan jadi Rp 5 juta. Biasanya saya  dihubungi dari kantor pajak dan dipanggil lewat HP," katanya.

Baca Juga:Meninggal Kecelakaan Mobil, Polres Boyolali Gelar Salat Ghaib untuk Mendiang AKBP Muhammad Yoga

Pada tahun 2019 dan 2020 tidak ada panggilan dari kantor pajak seperti sebelum-sebelumnya. Tahun 2021 itu dapat surat dari KPP Pratama Solo bukan Boyolali, dan langsung datang.

"Saat datang dan bertemu terus ngomong-ngomong ada koreksi. Tak berselang lama dipanggil ke Solo lagi, lalu dihitung dan saya dikenakan Rp 2 Miliar, terus dipanggil-panggil lagi dan dikenakan Rp 671 juta," jelas dia.

Saat dikenakan Rp 2 miliar, Pramono mengaku tidak sanggup. Ia pun merasa ada kejanggalan dan tidak masuk akal, karena selama berdagang itu biasanya hanya Rp 10 juta atau Rp 5 juta.

"Karena dipanggil-panggil terus akhirnya ketemu Rp 671 juta itu, dikira itu bercanda tapi ternyata beneran. Akhirnya saya tidak sanggup, karena tidak masuk akal," sambungnya.

Ia pun dipanggil-panggil lagi dan akhirnya disuruh menawar tapi tetap tidak mau. Lalu pulang dan dari pihak pajak minta dipikirkan lagi mau atau tidak saat di jalan. 

"Kalau tidak mau itu akan disita. Saat di jalan, saya menghubungi kantor pajak dan menyampaikan tidak sanggup. Mau disita pun tidak apa-apa daripada saya pusing, saya tidak kerja tidak apa-apa," ucap dia.

Karena di Solo tidak selesai, lalu masalah ini dipindahkan ke Boyolali. Tahun 2019 dikenakan Rp 75 juta, pada 2020 diminta untuk membayar Rp 200 juta dan urusan semua selesai.

"Jadi saya tidak nawar, langsung siap. Setelah itu beberapa bulan, saya dipanggil lagi untuk tanda tangan penyelesaian. Lalu ditanyakan lagi yang Rp 671 juta dan saya tetap tidak sanggup," tuturnya.

"Tapi berjalannya waktu sampai 2022, saya dapat penghargaan dan kena pajak Rp 24 juta. Tahun 2021 kena Rp 137 juta, 2023 kena Rp 141 juta," lanjut dia.

Sebelum rekening diblokir, dapat surat dari KPP Pratama Boyolali untuk musyawarah masalah Rp 671 juta dan diminta bayar tapi tidak sanggup. Lalu diminta bayar Rp 110 juta, padahal itu keuntungannya.

"Saya dikasih bayar itu Rp 110 juta tapi tidak sanggup. Lalu, 4 Oktober kemarin diblokir. Setelah diblokir saya datang ke kantor pajak untuk menyerahkan surat dari bank dan NPWP, mau berhenti dagang susu," imbuhnya.

Tapi buku bank dan NPWP diminta untuk dibawa pulang dan akan dibicarakan di kantor pajak dulu. Satu minggu kemudian memberitahu kalau aturannya tidak bisa dan tetap diminta bayar.

"Karena tidak bisa, saya kembalikan lagi buku bank dan NPWP meski dari kantor pajak tidak mau menerima. Saya tetap mengembalikan dan satu minggu setelah itu, saya berhenti tidak mengambil susu," tandas dia.

Pramono juga mengaku sudah berpamitan dengan para petani dan peternak, bahwa UD Pramono tidak lagi menerima susu. Selain itu juga sudah berpamitan dengan dua industri pengolahan susu (IPS) dan rekan-rekan kerja dari Jakarta yang ada tujuh kelompok.

"Mulai Jumat (1/11/2024) saya sudah tidak menerima dan mengirim susu. Tapi tak berselang lama, saya dihubungi Dinas Peternakan Boyolali supaya tetap beroperasi dan nanti akan dibantu penyelesaiannya," terangnya.

Pramono pun menyanggupi permintaan Dinas Peternakan Boyolali sambil menunggu kabar penyelesaiannya sampai mana. Makanya sampai sekarang masih beroperasi.

Pramono mengaku per hari itu susu yang masuk 20 ribu liter. Itu dari enam kecamatan, yakni Jatinom (Klaten), Tamansari, Musuk, Cepogo, Ampel, dan Mojosongo.

"Itu dari peternak dan kelompok, jadi ada yang tiga orang, tujuh hingga 20 orang. Jadi kalau berhenti beroperasi maka peternak di enam kecamatan itu tidak bisa jalan, maka berdampak banyak orang," tandas dia.

"Kalau hasil dari penyelesaian lewat Dinas Peternakan gagal, ya tutup. Aku wes ra mampu (Saya sudah tidak sanggup). Dadi kulo ora nyalahke bank, ora nyalahke kantor pajek (Saya tidak menyalahkan bank dan KPP Pratama). Sing penting kulo ora mampu. (Kedua) tanganku ora mampu, keju kabeh, ra isoh nyambut gawe (Saya hanya sudah tidak mampu karena capek, tidak bisa kerja lagi)," pungkasnya.

Kontributor : Ari Welianto

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini

Tampilkan lebih banyak