SuaraSurakarta.id - Dalam pepatah orang Jawa, hari Selasa dimaknai sebagai sela-selane manungsa. Konon di hari itu, waktu terasa lebih panjang sehingga ada jeda waktu yang bisa dipakai untuk melepas segala penat.
Hobi menjadi salah satu media efektif untuk kembali menyuntikkan energi positif sebelum bersua dengan kesibukan esok hari.
Didasari atas kesamaan akan bacaan dan berbagi rasa cerita, Titilaras, Srawung Emak dan Ke.ruang membuka sebuah ruang pertemuan.
Jamuan di hari Selasa Pahing ini diberi tajuk Srawung Ben Ora Suwung. Gelaran perdana hadir di sepetak ruang depan di Titilaras Kedai Kopi dan Teh, Pasar Gede Solo, Selasa (4/6/2024).
Baca Juga:Penyaluran Bansos dan PKH di Solo: Kisah Petugas Antar Langsung ke Rumah Penerima
Relasi antara individu dan ruang lingkup sosial terasa begitu unik. Ketidakstabilan jiwa yang sering diidentikkan dengan suwung apakah terjadi karena kesepian dari aktivitas menarik diri dari ruang lingkup sosial atau justru kompleksitas kehidupan sosial malah membuat rasa kemanusiaan kita tercerabut?.
"Bagi teman-teman di Titilaras, Srawung Emak dan juga Ke.ruang menyakini bahwa ciri personal yang hadir kala menemukan tautan antara buku dan diri mampu merajut simpul perbincangan yang bisa menerabas segala sekat," kata Danang Rusdy, Founder ke.ruang.
Danang memaparkan, segala harapan serta niat sederhana tersebut nyatanya beresonansi hingga mendorong 13 orang untuk turut serta berpartisipasi.
Sesuai dengan waktu yang direncanakan di tanggal 4 Juni 2024 mulai pukul 19.30, satu per satu peserta hadir. Praktis nggak banyak yang kenal satu sama lain sebelumnya.
Meja tempat logistik makin lama makin sesak dengan aneka ragam jajan yang dibawa oleh masing-masing peserta.
Sesi perkenalan semakin cair kala masing-masing ternyata tinggal di tempat yang berdekatan. Suasana semakin pecah saat dua peserta yang saling duduk berdekatan mengeluarkan buku yang sama, yaitu Re: dan peRempuan karya Maman Suherman.
Perihal perjuangan tokoh Re dimaknai secara berbeda sesuai dengan pengalaman masing-masing pembaca, yaitu Ratih dan Syakila. Sebelumnya Roos mengecap rasa perihal Kisah Kasih Dari Dapur yang membawa kembali ingatan akan kota Makasar.
Keragaman buku semakin terlihat ketika satu persatu buku keluar dari tas Yuni, Dila, Yasmin, Ario, Yudi, Dita, Tri, Arika, serta Isnaini.
Mulai dari novel grafis Chicken Soup for the Soul Perjalanan Ajaib, novel terjemahan Scheduled Suicide Day, novel Pengantin-Pengantin Tua, Salju Di Pantai Cinta Scheveningen hingga bacaan macam Filosofi Teras, Psikologi Raos Dalam Wayang, Kita dan Mereka serta Finding God yang mencari tautan fenomena sains dengan kedalaman nilai agama. Fitria sendiri tak ragu memilih buku Empowered Mom (Mother Empowers) sebagaimana Tri memungut How To Friends & Influence People dan Yudi yang membawa buku serupa kalender berbahasa Perancis Peuples du Monde.
Para pembaca tampak berbagi pengalaman secara jujur tanpa ada pretensi untuk memberi analisa yang bombastis seperti di berbagai media pada umumnya.
Apresiasi laik disematkan juga kepada mereka yang secara jujur menyampaikan kesan secara polos bahwa membaca bukan perkara mudah mengingat lingkungan keluarga tidak memperkenalkan aktivitas tersebut sejak kecil.
Pengalaman ini tentu membahagiakan mengingat selama ini forum sejenis seringkali diidentikkan dengan kalangan yang memiliki budaya literasi tinggi.
Hal ini tentu membahagiakan, mengingat Srawung Ben Ra Suwung dirancang untuk memberi ruang nyaman bagi siapapun yang tertarik dengan aktivitas membaca tanpa pandang bulu.
Selesai acara, tampak beberapa orang masih berkumpul dan melanjutkan obrolan lebih dalam. Ada juga yang lebih memilih untuk melanjutkan percakapan di tempat lain ataupun langsung pulang ke rumah untuk beristirahat.
Kebahagiaan yang terpancar dari wajah menyiratkan harapan akan ada seri berikutnya. Lokasi pertemuan sudah mulai disusun untuk berjumpa 40 hari ke depan.