SuaraSurakarta.id - Keraton Kartasura yang pernah menjadi pusat Kerajaan Mataram Islam selama 65 tahun di daerah Solo, kini berubah menjadi kompleks pemakaman.
Makam-makam yang ada di kompleks pemakaman tersebut merupakan bagian dari keluarga raja atau pejabat kerajaan.
Keraton Kartasura sendiri merupakan keraton keempat Kerajaan Mataram setelah Kotagede, Kerto, dan Pleret yang ada di Daerah Istimewa Yogyakarta.
Saat ini, peninggalan Keraton Kartasura ini masih bisa ditemukan oleh warga. Namun, kondisi peninggalan tersebut sudah tidak lagi berwujud keraton.
Baca Juga:Kasus Perusakan Ndalem Singopuran Keraton Kartasura, Bapak Anak Diperiksa PPNS BPCB
Peninggalan yang paling terlihat hanya bagian benteng keraton bagian dalam alias Benteng Sri Meganti. Selebihnya, kawasan Keraton Kartasura berubah menjadi kompleks pemakaman. Kompleks pemakaman tersebut hanya berjarak 11 kilometer dari istana Mataram Islam yang masih eksis hingga kini, yakni Keraton Surakarta Hadiningrat.
Tepatnya, Keraton Kartasura itu berada di desa Ngadirejo, Kecamatan Kartasura, Sukoharjo, Jawa Tengah. Lantas, apa saja yang masih tersisa dan makam siapa gerangan yang berada di kompleks pemakaman tersebut?
Jelajah Petilasan Keraton Kartasura
Peninggalan kejayaan istana alias Keraton Kartasura pada masa lalu memang sudah tidak ada dan bahkan saat ini didominasi oleh makam-makam. Namun, di benteng bagian dalam, yakni Benteng Sri Menganti, masih ada dua peninggalan yang bisa ditemui.
Peninggalan tersebut yang pertama adalah bekas kamar tidur raja. Wilayah tersebut ditandai dengan dua batu besar yang kemudian diberi penutup kain. Sementara, di sisi utara jejak kamar tidur tersebut, terdapat dinding tembok yang jebol.
Baca Juga:Kasus Perusakan Pagar Ndalem Singopuran Kartasura, PPNS BPCB Jateng Periksa 5 Saksi
![Petilasan Keraton Kartasura. [Wisatajateng.com]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2021/09/18/51595-petilasan-keraton-kartasura.jpg)
Kondisi tembok tersebut dipercaya sebagai saksi bisu terjadinya Geger Pacinan alias pemberontakan orang-orang Tionghoa dan masyarakat yang anti-VOC, khususnya kepada Raja Mataram Islam saat itu, yakni Pakubuwono II. Tembok tersebut kemudian disebut dengan Jebolan Pacinan.
Namun, lubang tersebut sudah direnovasi dengan tujuan agar situs Keraton Surakarta itu tidak semakin rusak. Sementara, benteng bagian luar, yakni Benteng Baluwarti sudah tidak terlalu tampak karena kondisinya sudah hancur.
Jadi Kompleks Pemakaman
Keraton Kartasura ditinggalkan usai Geger Pacinan yang menyerang kerajaan. Pemberontakan yang terjadi pada tahun 1740 itu berhasil memporak-porandakan Keraton Kartasura. Alhasil, Pakubuwono II tunggal-langgang ke Ponorogo.
Namun, atas bantuan VOC, Pakubuwono II akhirnya berhasil menumpas pemberontakan dan kembali merebut Keraton Kartasura. Meski begitu, keraton tersebut tetap ditinggalkan. Selain karena sudah hancur, raja tidak mau kembali menghuni keraton tersebut karena sudah pernah diduduki musuh.
Istana kerajaan Mataram Islam pun kemudian berpindah lokasi. Saat itu, Keraton dipindahkan ke kawasan Kedung Lumbu yang kala itu masih berupa rawa-rawa di tengah hutan Sala alias Solo. Lokasi inilah yang menjadi Keraton Surakarta Hadiningrat yang masih eksis hingga saat ini.
Keraton Surakarta Hadiningrat itu sekaligus menjadi keraton kelima kerajaan Mataram Islam. Namun, keraton tersebut bukan lagi sebagai istana Kerajaan Mataram, melainkan Kasunanan Surakarta Hadiningrat.
Hal itu terjadi karena adanya Perjanjian Giyanti pada 13 Februari 1755 yang membagi Mataram Islam menjadi dua bagian, yakni Kasunanan Surakarta Hadiningrat (Keraton Solo) dan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat (Keraton Yogyakarta).
Setelah perpindahan tersebut, Keraton Kartasura terbengkalai dan kembali menjadi hutan bernama Hutan Keraton. Baru pada tahun 1811, atas perintah Raja Surakarta saat itu, maka dilakukan pencarian petilasan Keraton Kartasura tersebut. Namun, yang tersisa hanyalah dinding benteng.
Untuk menandai keruntuhan sebuah keraton, maka Keraton Kartasura kemudian dijadikan sebagai kompleks pemakaman sejak tahun 1816. Menurut juru kunci, Surya Lesmana, makam Keraton Kartasura sudah tidak digunakan lagi karena dilindungi Undang-Undang sebagai Cagar Budaya.
Kontributor : Dinnatul Lailiyah