"RT ku, pak, tak bobolke lewat mburi, ojo metu njobo, ditutup wae. Terus bobol tembok belakang, temboknya itu empuk jadi mudah dijebol karena kuno," sambung dia.
Saat proses penyelamatan pun berlangsung dramatis, ia dan keluarga harus keluar rumah dengan lubang kecil dari tembok yang dijebol.
"Pas keluar aku ditarik kepala dulu saat keluar, terus istri, ibu, kakak jadi satu rumah. Sampai sekarang tembok yang dijebol tak lestarikan dan dikasih pintu," ceritanya.
Sumartono mengaku tidak menyangka dan tidak pernah berpikir kalau rumahnya bakal jadi sasaran saat peristiwa Mei 1998. Waktu itu rumahnya dipakai buat kantor dan bengkel.
Baca Juga:Kapten Timnas Indonesia U-22 Lempar Kode Ramadhan Sananta Menuju Persis Solo
Bahkan dalam peristiwa itu belasan ribu korban dan bangunan dirusak serta dibakar.
"Sama sekali saya tidak berpikir rumahnya jadi sasaran. Tapi tidak dibakar karena diperingatkan sama Pak RW dan Pak RT," terang dia.
"Masa tetap masuk rumah dan menjarah barang-barang malam harinya. Mesin pompa air hilang, AC juga hilang, mainan anak diambil dan kaca-kaca dipecah," lanjutnya.
Ia bersama keluarga diselamatkan dan mengungsi di rumah warga kurang lebih satu minggu sampai benar-benar kondisi aman. Atas kejadian ini, ia merasa trauma dan sempat mendapat perawatan psikiater kurang lebih 1,5 tahun.
"Saya di rumah warga itu seminggu, di belakang rumah. Aku dirawat di dokter psikiater itu 1,5 tahun, karena stres itu harus diturunkan," ucap dia.
Baca Juga:Ramadhan Sananta Dirumorkan Tinggalkan PSM Makassar, Bergabung ke Persis Solo?
"Keluarga juga stres semua, tapi tidak separah aku. Aku itu hidung sampai terganggu, di ruang atau kereta sempat mau melompat. Di kamar di rumah, saya keluar jalan-jalan di halaman," ungkap dia.