Tradisi yang Kembali, Festival Menunggang Sapi Digelar di Boyolali

Menunggang sapi merupakan tradisi lawas di Boyolali, kini tradisi itu kembali digelar

Budi Arista Romadhoni
Sabtu, 18 Desember 2021 | 16:21 WIB
Tradisi yang Kembali, Festival Menunggang Sapi Digelar di Boyolali
Warga menunggang sapi ketika kegiatan amal sekaligus festival budaya tunggang sapi yang diadakan oleh Paguyuban Gerobak Sapi Adem Ayem Boyolali Sabtu (18/12/2021). [Solopos.com/Candra Putra Mantovani]

SuaraSurakarta.id - Boyolali memiliki tradisi unik dan jarang dilakukan oleh masyarakatnya. Yaitu menunggang sapi

Namun demikian, tradisi dari Kabupaten Boyolali itu kini kembali dilakukan. Tradisi menunggang sapi itu terjadi di Lapangan Manggis di Mojosongo, Boyolali, Sabtu (18/12/2021) pagi.

Menyadur dari Solopos.com, Festival tunggang sapi itu  diselenggarakan oleh Paguyuban Gerobak Sapi Adem Ayem Boyolali. Seperti namanya, sapi-sapi itu dilatih agar bisa dimanfaatkan sebagai alat transportasi seperti laiknya kuda.

“Hey! Hey!,” teriak orang-orang yang menunggangi sapi-sapi sembari memainkan cemetinya untuk memancing sapi-sapi tersebut agar berjalan.

Baca Juga:Lolos ke Final Liga 3 Zona Jateng, Persebi Boyolali akan Adu Kekuatan dengan Persipa Pati

Para pengemudi gerobak sapi yang disebut bajingan tersebut saling mempertontonkan kehebatan sapi-sapi yang mereka latih. Aksi yang dilakukan tersebut pun berhasil menarik perhatian masyarakat sekitar yang banyak juga tertarik untuk ikut menjajal sensasi menunggangi sapi.

Salah satunya penonton bernama Andi yang mengaku tertarik menjajal menunggangi sapi. Menurutnya, menunggangi sapi merupakan pengalaman berbeda lantaran sapi bukanlah hewan yang mudah diajari.

“Ya unik saja, karena kan biasanya menunggangi kuda, ini sapi. Jadi penasaran pengin mencoba, dan ternyata jinak semua karena ada pemiliknya yang mendampingi,” ujar dia.

Salah satu koordinator kegiatan, Muqorobin, bercerita kegiatan tunggang sapi kembali ramaikan oleh Paguyuban Gerobak Sapi Adem Ayem Boyolali sejak tiga tahun terakhir. Pelestarian budaya tersebut berdasarkan sejarah di era kerajaan dulu kala di mana petani dan masyarakat banyak yang memanfaatkan sapi sebagai alat bantu angkut dan moda transportasi.

“Itu karena sapi dinilai lebih kuat tenaganya untuk mengangkut hasil tani dan alat pertukangan. Kira-kira tenaganya sama dengan mobil pikap kalau dibandingkan teknologi saat ini. Karena sejarah itu, kami membentuk paguyuban dan berniat melestarikan budaya ini agar tidak hilang,” terang dia.

Baca Juga:Potensi Bahaya Lahar Dingin Gunung Merapi, Aktivitas Penambangan Pasir Diminta Berhenti

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini

Tampilkan lebih banyak