Budi Arista Romadhoni
Rabu, 03 Desember 2025 | 11:33 WIB
Penampakan revitalisasi Benteng Keraton Kartasura. (Suara.com/Ari Welianto)
Baca 10 detik
  • Restorasi Benteng Keraton Kartasura di Sukoharjo difokuskan pada sudut tenggara Cepuri menggunakan teknik gosok tanpa semen modern.
  • Pekerjaan pemugaran ini dilakukan swakelola oleh SDM ahli untuk mempertahankan otentisitas bahan, bentuk, dan teknologi bangunan kuno.
  • Proyek yang berlangsung September hingga Desember 2025 ini bertujuan melestarikan situs bersejarah peninggalan Keraton Kartasura yang hancur tahun 1742.

SuaraSurakarta.id - Dinding-dinding bisu yang pernah menjadi saksi pertumpahan darah dan runtuhnya sebuah kekuasaan kini mulai bangkit. Setelah ratusan tahun tergerus zaman, pemugaran struktur Benteng Keraton Kartasura di Sukoharjo mulai menampakkan kembali wujud aslinya, membangkitkan memori sebuah era krusial dalam sejarah Mataram Islam.

Di Sukoharjo, jejak peradaban besar Jawa memang berlapis-lapis. Jauh sebelum Kartasura berdiri, wilayah ini telah menjadi bagian dari denyut nadi Kerajaan Pajang yang didirikan oleh Sultan Hadiwijaya atau Jaka Tingkir.

Pajang, sebagai penerus Kesultanan Demak, menjadi pusat pemerintahan Islam yang sangat berpengaruh terhadap perkembangan budaya Jawa.

Kini, salah satu penerusnya, Keraton Kartasura, yang hancur lebur akibat peristiwa Geger Pecinan pada 1742, tengah diselamatkan dari kepunahan.

Dari pantauan di lapangan, pengerjaan restorasi difokuskan pada bagian depan benteng. Tembok-tembok yang dulu berlubang kini telah tertutup rapat, dan bagian atasnya pun kembali rata, seolah menarik kembali garis wibawa yang pernah hilang. Proses ini bukan sekadar pekerjaan konstruksi, melainkan sebuah upaya arkeologis yang rumit untuk menghormati leluhur.

Pamong Budaya Ahli Muda Balai Pelestarian Kebudayaan (BPK) Wilayah X Jateng-DIY, Wardiyah, menjelaskan betapa otentisitas menjadi napas utama pemugaran ini.

Teknologi masa lalu dihidupkan kembali, di mana batu-batu bata raksasa direkatkan dengan teknik kosod (gosok), sebuah metode kuno tanpa campuran spesi semen modern dan tanpa lepa atau plester.

"Sasaran pekerjaan kali ini adalah sudut tenggara Benteng Cepuri (dinding selatan dan dinding timur) dan bersifat parsial, yaitu hanya pada bagian yang rusak sehingga tidak dilakukan pembongkaran secara menyeluruh serta memberikan perkuatan seperlunya," terangnya, Selasa (2/12/2025).

Menurut Wardiyah, pekerjaan restorasi ini menuntut keahlian khusus yang tidak bisa diserahkan pada sembarang pihak.

Baca Juga: Tahun Baru Bukan Hura-hura: LUIS dan GP Ansor Ajak Warga Solo Introspeksi Diri

"Pekerjaan dilakukan secara swakelola, karena pekerjaan pemugaran struktur bangunan bahan bata bersifat khusus. Sehingga harus dilakukan oleh SDM yang ahli dibidangnya serta harus mempertahankan keasliannya, berupa keaslian bahan, bentuk, tata letak dan teknologi," ujarnya.

Proyek ambisius yang berlangsung selama tiga bulan, dari September hingga Desember 2025 ini merupakan kali pertama BPKW X menyentuh langsung struktur benteng cepuri yang ikonik tersebut.

Bahkan, batu bata yang digunakan bukanlah bata biasa. Tim harus memesan khusus agar ukurannya presisi dengan bata asli, yakni panjang 36 cm, lebar 17 cm, dan tebal 6 cm.

"Seperti yang sudah kami sampaikan, kami berupaya mempertahankan keaslian. Jika ada bata merah pengganti setidaknya memiliki bentuk yang mewakili dengan bata lama," ungkapnya.

Wardiyah berharap pemugaran ini dapat menjadi etalase hidup bagi masyarakat untuk melihat bagaimana sebuah cagar budaya diperlakukan dengan hormat.

Upaya ini diharapkan menjadi stimulus bagi pemerintah provinsi maupun kabupaten, serta pihak lain untuk melanjutkan pelestarian situs Keraton Kartasura, sebuah kapsul waktu dari salah satu babak paling dramatis dalam sejarah Nusantara.

Load More