Scroll untuk membaca artikel
Budi Arista Romadhoni
Senin, 20 November 2023 | 08:34 WIB
Ki Ageng Mangir. [Dok. budaya.jogjaprov.go.id]

SuaraSurakarta.id - Ki Ageng Mangir hanyalah seorang pemimpin padukuhan, akan tetapi ia menjadi tokoh yang cukup menghebohkan di awal masa kerajaan Mataram Islam yang didirikan Panembahan Senopati pada 1586. Karena merasa sama-sama keturunan Raja Majapahit, Brawijaya V, Ki Ageng Mangir mempertahankan kedaulatan wilayah Mangir di bawah kepemimpinannya.

Bahkan, Ki Ageng Mangir menantang duel Panembahan Senopati. Namun, duel tersebut bukan menghabisi nyawa Ki Ageng Mangir, akan tetapi justru merupakan siasat untuk mempertemukannya dengan putri Panembahan Senopati.

Kisah Mangir, Tanah Perdikan yang Tak Mau Tunduk Pada Mataram

Mangir dikenal sebagai desa tertua yang berada di Kabupaten Bantul, Yogyakarta. Desa tersebut didirikan oleh keturunan raja terakhir Majapahit, Brawijaya V, yakni Raden Wonoboyo.

Baca Juga: Marak Alih Fungsi Cagar Budaya, Forum Budaya Mataram Nilai Pemerintah Kurang Beri Perhatian

Pada saat bubarnya kerajaan besar itu, para keturunan raja menyebar ke berbagai wilayah. Salah satunya adalah Raden Lembu Amisani yang berjalan ke arah Mataram Kuno bersama istri dan anaknya, yakni Raden Wonoboyo. Mereka kemudian berhenti di salah satu daerah di Gunungkidul, Yogyakarta.

Di daerah itu pula Raden Lembu Amisani dan istrinya muksa, wafat dan jasadnya hilang. Raden Wonoboyo kemudian terus berjalan hingga di muara Kali Progo dan menemukan wilayah yang dianggap cocok untuk pemukiman, yang kemudian menjadi wilayah Mangir tersebut.

Raden Wonoboyo kemudian menikah dan memiliki anak bernama Ki Ageng Mangir II. Seluruh kepemimpinan Mangir diserahkan kepada anaknya tersebut sebelum pergi berguru pada Sunan Kalijaga. Sepulangnya Wonoboyo ke Mangir, putranya telah memiliki anak bernama Ki Jaka Mangir alias yang kemudian dikenal dengan Ki Ageng Mangir III.

Setelah itu, Wonoboyo kembali bertapa di gunung Merbabu. Di sanalah Wonoboyo menemukan pusakanya, yakni tombak Baru Klinting. Pusaka tersebut kemudian diserahkan kepada putranya, Ki Ageng Mangir II dan diturunkan pada Ki Jaka Mangir sebagai penerusnya.

Seperti dikisahkan dalam Babad Ki Ageng Mangir, kebesaran Ki Jaka Mangir ini cukup besar. Banyak wilayah yang kemudian turut bergabung dengan Mangir untuk menolak tunduk pada kerajaan Mataram Islam, di antaranya adalah Pati, Kudus, Tuban, Gresik, Madiun, Surabaya, Kediri, dan beberapa daerah lain.

Baca Juga: Dekorasi Ngunduh Mantu Kaesang Pangarep dan Erina Gudono di Loji Gandrung, Mengambil Tema 'Mataram Islam'

Karena hal itu, Panembahan Senopati merasa bahwa melawan Ki Jaka Mangir cukup berisiko, apalagi jika terjadi kekalahan. Oleh karena itu, bersama dengan para pangeran dan adipati menyusun siasat. Mereka mengirim penyamaran kelompok wayang dengan salah satu ledehnya adalah putri Panembahan Senopati sendiri, yakni Roro Tembayun.

Benar saja kecantikan Roro Pembayun berhasil membuat Ki Jaka Mangir jatuh hati dan menikahinya. Setelah menjadi istri Ki Jaka Mangir, Roro Pembayun mengungkap jati dirinya, bahwa ia merupakan putri Panembahan Senopati.

Namun, Ki Jaka Mangir tak gentar. Bahkan, pada saat Roro Pembayun hamil, mereka sowan kepada Panembahan Senopati di Keraton Mataram, Kotagede. Itulah jebakan yang diharapkan Panembahan Senopati.

Ki Ageng Mangir membawa banyak pasukan dan membawa banyak seserahan untuk mertua sekaligus lawannya. Namun, pada saat saat memberikan sembah bakti, Panembahan Senopati yang duduk di atas batu gilang membenturkan kepala Ki Jaka Mangir ke batu gilang hingga tewas.

Tujuan Panembahan Senopati untuk menyingkirkan Ki Jaka Mangir alias Ki Ageng Mangir III yang dianggap membangkang dan membahayakan kerajaan Mataram itu pun berhasil dengan siasat tersebut. Menurut kisah Babad Ki Ageng Mangir, peristiwa tragis ini terjadi pada tahun 1601.

Peristiwa ini sekaligus menjadi tragedi kemanusiaan yang menuai pro dan kontra yang berkepanjangan. Namun, Panembahan Senopati pun tutup usia pada tahun yang sama.

Kontributor : Dinnatul Lailiyah

Load More