SuaraSurakarta.id - Kasus perusakan tembok bekas Keraton Kartasura di Kampung Krapyak Kulon RT 02 RW 10 Kelurahan Kartasura, Sukoharjo, terus berkepanjangan.
Pemilik lahan Burhanudin pun baru saja diperiksa dan dimintai keterangan oleh Tim Kejaksaan Agung (Kejagung) di Kantor Kejaksaan Negeri (Kejari) Sukoharjo, Rabu (11/5/2022) kemarin.
Kuasa Hukum pemilik lahan, Bambang Ary Wibowo mengatakan dalam pemeriksaan kemarin ada tujuh pertanyaan yang diajukan pemilik lahan.
"Kalau boleh membagi ada dua persoalan hukum ditanyakan. Pertama terkait bagaimana kepemilikan tanah, sedangkan yang kedua terkait bangunan cagar budaya (BCB)," terang dia saat jumpa pers, Kamis (12/5/2022).
Bambang Ary menjelaskan, jika kliennya membeli tanah tersebut sudah dalam bentuk sertifikat hak milik.
Jadi bukan membeli tanah cagar budaya yang diproses untuk sertifikat hak miliknya.
"Jadi tanah itu dibeli sudah dalam bentuk sertifikat hak milik. Sertifikat hak milik Itu atas nama saudara Lina Wiraswati yang tinggal di Lampung," katanya.
Proses pembelian tanah tersebut terjadi pada 17 Februari 2022 lalu senilai Rp 850 juta dengan seluas 682 meter persegi.
Tapi itu dibayar sebesar Rp 400 juta, sedangkan sisanya akan diselesaikan bulan Oktober 2022 nanti secara bertahap.
Baca Juga: Tim Kejagung RI Turun Tangan Kasus Perusakan Benteng Bekas Keraton Kartasura, Ini Hasilnya
"Posisi sertifikat saat ini ada di notaris, karena belum ada pelunasan. Jadi klien kami tidak memegang sertifikat sama sekali, pengajuan IMB juga belum," sambung dia.
Tanah yang dibeli itu belum ada rencana kedepan buat apa, jadi kalau ada yang bilang buat kos-kosan atau bengkel itu tidak benar sama sekali.
"Klien kami tidak tahu juga bagaimana pemilik sebelumnya bisa mendapatkan sertifikat. Yang diketahui dari bunyi sertifikat itu bawah tanah ini merupakan hasil dari akta waris, jadi awalnya tanah itu dimiliki oleh tujuh orang dan tahun 2014 sertifikat keluar. Tahun 2015 kemudian sertifikat itu dipecah dengan akta waris, jadi semua itu ada dasar hukumnya," ujarnya.
Terkait tembok tersebut BCB, jika kliennya tidak tahu kalau itu BCB. Karena ketika membeli tanah tersebut, pihak yang menjual tidak disampaikan tanah tersebut BCB.
Di situ juga tidak ada papan pengumuman yang menjelaskan sebagai cagar budaya dari pemerintah kabupaten.
"Kalau kami boleh melakukan kronologi, kenapa kemudian muncul yang namanya perobohan tembok. Kami dari kuasa hukum tidak mengatakan itu kerusakan, karena masih prematur, kalau itu merusak berati ada niat dan niatnya seperti apa, itu yang perlu diperdalam lagi," papar dia.
Berita Terkait
Terpopuler
- 5 Perbedaan Toyota Avanza dan Daihatsu Xenia yang Sering Dianggap Sama
- 5 Mobil Bekas yang Perawatannya Mahal, Ada SUV dan MPV
- 5 Mobil SUV Bekas Terbaik di Bawah Rp 100 Juta, Keluarga Nyaman Pergi Jauh
- Sulit Dibantah, Beredar Foto Diduga Ridwan Kamil dan Aura Kasih Liburan ke Eropa
- 13 Promo Makanan Spesial Hari Natal 2025, Banyak Diskon dan Paket Hemat
Pilihan
-
Live Sore Ini! Sriwijaya FC vs PSMS Medan di Jakabaring
-
Strategi Ngawur atau Pasar yang Lesu? Mengurai Misteri Rp2.509 Triliun Kredit Nganggur
-
Libur Nataru di Kota Solo: Volume Kendaraan Menurun, Rumah Jokowi Ramai Dikunjungi Wisatawan
-
Genjot Daya Beli Akhir Tahun, Pemerintah Percepat Penyaluran BLT Kesra untuk 29,9 Juta Keluarga
-
Genjot Konsumsi Akhir Tahun, Pemerintah Incar Perputaran Uang Rp110 Triliun
Terkini
-
Duh! Libur Nataru Museum Keraton Solo Masih Digembok
-
10 Tempat Wisata Wonogiri yang Lagi Viral untuk Libur Akhir Tahun 2025
-
7 Angkringan Legendaris di Solo: Murah, Kenyang, dan Penuh Kenangan!
-
Libur Nataru di Kota Solo: Volume Kendaraan Menurun, Rumah Jokowi Ramai Dikunjungi Wisatawan
-
Penuhi Syarat Jadi Raja, PB XIV Hangabehi Genap Salat Jumat 7 Kali di Masjid Agung