SuaraSurakarta.id - Kasus perusakan Benteng Keraton Kartasura menjadi polemik panjang.
Perusakan terhadap benteng keraton bukan kali pertama terjadi. Dulu banyak warga itu yang mengambil batu bata buat campuran semen untuk membuat rumah.
Hal itu dijelaskan Juri Kunci Bekas Keraton Kartasura, Mas Ngabehi Suryo Hastono yang menyebut panjang benteng Baluwarti dulunya cukup luas, namun hanya tersisa 100 meter.
"Itu kalau ditelusuri pondasinya masih ada. Sudah jadi tanah pekarangan sekarang, ada yang bangunan dan sebagainya," ujar Mas Ngabehi Suryo Hastono, Senin (25/4/2022).
Menurutnya, mungkin warga tidak ada rasa kepedulian dan dianggap keraton sudah pindah maka tidak dipakai.
Tapi setelah keluar UU Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya warga tidak lagi berani mengutak-atik.
"Itu sangat disayangkan, saya keluarga aturan itu terlambat. Dulu banyak warga batu-batu ndodosi (ambil-red) batu bata benteng buat bangun rumah," katanya.
Dijelaskanya sebelum ada UU tahun 2010, penjebolan benteng sudah biasa. Benteng yang sekarang ini ada terselamatkan setelah adanya UU Cagar Budaya.
"Dulu sudah biasa. Dulu menurut cerita eyang saya, mereka itu hanya diberikan wewenang silahkan di pageri sak kuatmu. Kadang tanahnya luas karena keluarganya banyak. Eyang buyut saya sudah terima di dalam keraton," papar dia.
Baca Juga: Siapa Sosok Penjebol Tembok Keraton Kartasura? Siap-Siap Kena Pidana
Untuk status tanah yang di dalam keraton itu yakni benteng cempuri milik Keraton Kasunanan Surakarta. Sementara yang di luar seperti Baluwarti sudah milik umum atau pribadi. Sudah bersertifikat, sehingga dijual belikan.
"Dari eyang saya dulu itu yang dikelola oleh keraton, yang ada di dalam. Hanya saja tugas juru kunci itu dalam keraton saja," imbuh dia.
Suryo menjelaskan, setelah keraton pindah ke Solo pada 1745, maka di sini jadi tidak terawat dan menjadi hutan bernama hutan keraton.
Pada tahun 1811 itu, baru mulai dicari keraton lama oleh eyang buyut dan dibersihkan lima tahun. Tidak ada apa-apanya dan setelah itu banyak warga yang menetap.
Kemudian pada tahun 1816 baru dijadikan makam. Eyang diberi tempat di sini untuk menunggu dan merawat.
"Jadi mulai bertanggung jawab atau ada juru kunci itu tahun 1816. Itu turun temurun hingga sekarang, saya itu juri kunci keturunan ke-10," ungkapnya.
Berita Terkait
Terpopuler
- 5 Rekomendasi Motor Listrik Harga di Bawah Rp10 Juta, Hemat dan Ramah Lingkungan
- 10 Rekomendasi Tablet Harga 1 Jutaan Dilengkapi SIM Card dan RAM Besar
- Rhenald Kasali di Sidang ASDP: Beli Perusahaan Rugi Itu Lazim, Hakim Punya Pandangan Berbeda?
- 20 Kode Redeem FC Mobile Terbaru 4 Oktober 2025, Klaim Ballon d'Or dan 16.000 Gems
- Beda Pajak Tahunan Mitsubishi Destinator dan Innova Reborn, Lebih Ringan Mana?
Pilihan
-
Maarten Paes: Pertama (Kalahkan) Arab Saudi Lalu Irak, Lalu Kita Berpesta!
-
Formasi Bocor! Begini Susunan Pemain Arab Saudi Lawan Timnas Indonesia
-
Getol Jualan Genteng Plastik, Pria Ini Masuk 10 Besar Orang Terkaya RI
-
BREAKING NEWS! Maverick Vinales Mundur dari MotoGP Indonesia, Ini Penyebabnya
-
Harga Emas Terus Meroket, Kini 50 Gram Dihargai Rp109 Juta
Terkini
-
Revitalisasi Benteng Keraton Kartasura: Batu Bata Khusus, Dikerjakan dengan Teknik Gosok
-
Kader PSI Dapat Arahan dari Jokowi di Bali, Ini Komentar Astrid Widayani
-
PNM Hadirkan Ruang Tumbuh dan Silaturahmi UMKM di PFL 2025
-
Tim Sparta Samapta Polresta Solo Amankan Pelaku Pengrusakan Rumah Warga di Pajang
-
10 Wisata Gratis di Solo yang Buka 24 Jam, Seru Buat Liburan Hemat