Scroll untuk membaca artikel
Ronald Seger Prabowo
Jum'at, 04 Februari 2022 | 18:06 WIB
Langgar Merdeka yang berada di kawasan Kampung Batik Laweyan, Solo. [Suara.com/Ari Welianto]

SuaraSurakarta.id - Langgar merupakan tempat ibadah umat Islam yang memiliki ukuran relatif kecil.

Di Kota Solo terdapat salah satu langgar yang memiliki sejarah panjang. Langgar itu bernama Langgar Merdeka yang berada di Kampung Batik Laweyan. 

Langgar Merdeka ini dulu merupakan simbol perjuangan masyarakat pada masa Agresi Militer Belanda dua. Karena dulu dipakai untuk berkumpul atau para pejuang. 

Bangunan tersebut merupakan hibah dari Imam Mashadi dan Aminah Imam Mashadi.

Baca Juga: Warga Lingkar Mandalika Pasang Spanduk, Pertanyakan Ganti Rugi Musala yang Dijanjikan

"Pembangunan langgar mulai dilakukan tahun 1942 dan selesai tahun 26 Februari 1946," ujar Pemerhati Sejarah Solo, KRMT Nuky Mahendranata Nagoro kepada Suarasurakarta.id, Jumat (4/2/2022).

Sebelum difungsikan sebagai Langgar, dulu bangunan tersebut milik seorang Tionghoa. Dulu bangunan itu dipakai untuk tempat jualan opium atau candu.

Seperti diketahui, opium adalah getah bahan baku narkotika yang diperoleh dari buah candu

Menurutnya, keberadaan toko opium merupakan kepanjangan dari keberadaan Bandar Kabanaran yang tidak jauh dari situ. 

"Dulu milik seorang Tionghoa yang berdagang opium atau candu," katanya.

Baca Juga: Berhenti Merokok, Ini 8 Cara Sederhana Terhindar dari Candu Rokok

Dikatakannya, berkembangnya bisnis pada waktu itu membuat VOC meraup keuntungan besar dibanding komoditi lain.

Sehingga membuat candu menyebar ke seluruh Nusantara termasuk di daerah Laweyan yang dulu merupakan daerah Pajang.

"Ditambah legalitas Amangkurat II yang memberi otoritas monopoli candu di Sala bagi VOC. Candu itu semacam komoditi umum," sambung dia.

Pada waktu itu, masyarakat Jawa menggunakan candu sebagai komposisi bahan masak dan dicampur dengan daun awar-awar dan kecubung. Itu disebut dengan Tike.

Tio Siong Mon merupakan bandar terbesar di Surakarta dan menguasai hampir seluruh perdagangan candu di Jawa. Kemudian meredup dan digantikan pesaingnya Be Biauw Tjoan yang membangun pasar gelap dengan model candu selundupan.

"Peredaran candu di Surakarta dan daerah-daerah dimasa revolusi menimbulkan kontroversi. Pemerintah bersikap mendua dan menetapkan standar ganda terhadap pelarangan dan memberikan ijin penjualan candu," jelasnya.

Mengingat kuatnya nilai komoditi bisa dipakai untuk mendanai biaya perjuangan waktu itu.

Pada Agresi Militer Belanda II tahun 1949 dilarang menggunakan kata merdeka. Kemudian Langgar Merdeka diubah menjadi Al Ikhlas. 

"Langgar Merdeka pernah bernama Ikhlas pada Agresi Militer Belanda II tahun 1949. Setelah pendudukan Belanda berakhir pada 1950, kembali bernama Langgar Merdeka," terang dia.

Pada bangunan Langgar Merdeka untuk lantai atas dipakai untuk tempat ibadah.

Sementara untuk lantai bawah dipakai buat usaha, yang mana untuk menunjang dana perawatan langgar.

"Lantai atas buat ibadah, sedang lantai bawah buat tempat usaha," pungkasnya tentang Langgar Merdeka.

Kontributor : Ari Welianto

Load More