"Sebelumnya itu standar hanya 10 persen, kalau kebijakan itu jadi diterapkan jadi 44 persen," ujar dia.
Agung mengaku hasil produksi rotannya itu sebagian besar ke AS meski ada ke Eropa maupun Australia. Untuk menjual luar negeri belum secara langsung baru lewat vendor atau pihak ketiga.
"Kebanyakan saat ekspornya ke AS tapi masih lewat vendor belum secara langsung. Tapi sudah terasa dampaknya kemarin, orderan-orderan sudah sepi," jelasnya.
Di Desa Trangsan sendiri yang melakukan ekspor secara langsung itu ada sekitar 20 an perajin. Kalau yang masih ekspor lewat vendor itu sekitar 300 an.
Baca Juga:PT KAI Buka Suara Usai Kecelakaan Maut KA Batara Kresna vs Mobil
"Adanya kebijakan itu pengaruh juga terutama yang masih lewat vendor. Kalau dari vendor tidak ada orderan otomatis perajin sepi," ungkap dia.

Pasar Lokal
Untuk solusi agar tetap bisa ekspor ke luar negeri, Agung akan menggarap pasar lokal. Ke luar negeri tetap seperti ke Eropa, Australia hingga Afrika.
"Kita maksimalkan bergelut di pasar lokal, di Australia dan beberapa negara di Eropa masih jalan. Rencana akan cari pasaran di Afrika dan itu masih terbuka lebar," sambungnya.
"Kalau memang benar AS akan menerapkan kebijakan itu. Kemungkinan besar banyak lari ke Afrika. Sata satu bulan bisa tiga sampai empat kontainer mengirim ke AS," lanjut dia.
Baca Juga:Termasuk 7 Tewas, Ini Daftar Kecelakaan KA Batara Kresna Sepanjang 2025
Sementara itu perajin rotan lain, Indriyani Susilowati mengatakan memang ada kekhawatiran kalau memang kebijakan tarif impor akan diterapkan di AS.