SuaraSurakarta.id - Kebijakan tarif impor yang ditetapkan oleh Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump membuat keluh kesah para pelaku industri.
Salah satunya pelaku industri rotan di Desa Wisata Rotan Trangsan Kabupaten Sukoharjo ini.
Mereka khawatir industri rotan akan lesu dan jatuh jika memang kebijakan itu diterapkan.
Di Desa Wisata Trangsan tiap bulannya ada ratusan kontainer yang membawa hasil industri untuk diekspor ke luar negeri termasuk ke AS.
Baca Juga:PT KAI Buka Suara Usai Kecelakaan Maut KA Batara Kresna vs Mobil
"Ya kalau memang itu diterapkan kemungkinan besar industri kita akan jatuh," terang Pelaku Industri Rotan Desa Trangsan, Kasi Agung Subagyo saat ditemui Suara.com, Kamis (10/4/2025).

Agung menjelaskan bukan tanpa alasan industri khususnya rotan jatuh. Karena saat ini kondisi ekonomi dunia sedang lesu, ditambah lagi adanya kebijakan itu.
"Ini saja sudah ekonomi dunia sedang lesu, apalagi dikenakan tarif itu. Semenjak sebelum lebaran kemarin itu orderan yang dari luar itu sudah mulai sepi," katanya.
Tidak hanya membuat industri lesu, kebijakan itu dinilainya juga berpengaruh kepaada bahan baku, termasuk bahan baku pendamping yang harus diimpor.
"Sebagian besar bahan pendamping untuk finishing masih impor. Otomatis harganya jadi naik," sambung dia.
Baca Juga:Termasuk 7 Tewas, Ini Daftar Kecelakaan KA Batara Kresna Sepanjang 2025
Menurutnya kebijakan dari Presiden AS Donald Trump itu 10 persen plus 34 persen untuk Indonesia. Jadi sekitar 44 persen nanti nilai tambah dari harga juga perajin.
"Sebelumnya itu standar hanya 10 persen, kalau kebijakan itu jadi diterapkan jadi 44 persen," ujar dia.
Agung mengaku hasil produksi rotannya itu sebagian besar ke AS meski ada ke Eropa maupun Australia. Untuk menjual luar negeri belum secara langsung baru lewat vendor atau pihak ketiga.
"Kebanyakan saat ekspornya ke AS tapi masih lewat vendor belum secara langsung. Tapi sudah terasa dampaknya kemarin, orderan-orderan sudah sepi," jelasnya.
Di Desa Trangsan sendiri yang melakukan ekspor secara langsung itu ada sekitar 20 an perajin. Kalau yang masih ekspor lewat vendor itu sekitar 300 an.
"Adanya kebijakan itu pengaruh juga terutama yang masih lewat vendor. Kalau dari vendor tidak ada orderan otomatis perajin sepi," ungkap dia.

Pasar Lokal
Untuk solusi agar tetap bisa ekspor ke luar negeri, Agung akan menggarap pasar lokal. Ke luar negeri tetap seperti ke Eropa, Australia hingga Afrika.
"Kita maksimalkan bergelut di pasar lokal, di Australia dan beberapa negara di Eropa masih jalan. Rencana akan cari pasaran di Afrika dan itu masih terbuka lebar," sambungnya.
"Kalau memang benar AS akan menerapkan kebijakan itu. Kemungkinan besar banyak lari ke Afrika. Sata satu bulan bisa tiga sampai empat kontainer mengirim ke AS," lanjut dia.
Sementara itu perajin rotan lain, Indriyani Susilowati mengatakan memang ada kekhawatiran kalau memang kebijakan tarif impor akan diterapkan di AS.
Karena 50 persen perajin di Desa Wisata Rota Trangsan itu ekspornya pasti ke AS.
"Kalau sekarang mungkin belum terasa karena belum ada pengiriman. Cuma kekhawatiran nanti benar-benar terjadi itu akan terasa," imbuhnya.
Indri mengatakan adanya kebijakan itu mungkin dampaknya ke perajin, apalagi sekarang bahan baku tidak murah. Ditambah dengan kebijakan tarif impor ke AS.
"Adanya kebijakan itu maka harganya kita bisa nggak sih bersaing di sana. Sementara harga yang kita patok itu marginnya kecil banget, sudah untungnya sedikit kadang tempo pembayaran terlalu lama juga berpengaruh," papat dia.
"Pasti ada kekhawatiran. Kalau kita naikan harganya, bisa diterima nggak sih di sana," tuturnya.
Indri menyebut saat ini lagi banyak mencari pasar yang lebih mudah, di Eropa itu masih ada, Australia, Jepang juga masih banyak. Termasuk juga cari di pasar lokal.
"Jadi kita masih mencari sela-selanya. Untuk bertahan agar tetap produksi itu ke pasar lokal sih," jelas dia.
Kebanyakan produk yang dikirim ke AS itu furniture, seperti meja atau kursi. Terus ada juga perlengkapan hotel, seperti head board, terus dekor untuk hotelnya.
"Sebelumnya soal itu ramai sudah ada isu terlebih dahulu, kita juga sempat kaget tenang nggak kalau ini diterapkan gimana. Terus ternyata selang satu minggu beritanya ramai, apalagi dengan Pak Prabowo mau buka kran impor. Ini kalau produk China atau yang lain masuk ke Indonesia, gimana ini," tuturnya.
Indri menambahkan di Desa Wisata Rotan Trangsan ini tiap bulannya ada sekitar 170 kontainer mengirim ke luar negeri. Jumlah itu sebanyak 80-90 kontainer ke AS.
"Itu setiap bulannya sekitar 170 kontainer. Itu mayoritas furniture semua produk-produk besar dan nilainya tidak kecil. Kalau rotan mungkin satu kontainer itu Rp 180 juta sampai Rp 240 juta, tapi kalau sudah kayu atau yang lain pasti di atas Rp 200 juta sampai Rp 350 juta," tandas dia.
Kontributor : Ari Welianto