SuaraSurakarta.id - Sumartono (67) tidak bisa melupakan kejadian kerusuhan Mei 1998 di Kota Solo.
Ia menjadi salah satu korban pada peristiwa tersebut, di mana rumahnya di Jalan Juanda daerah Gandekan, Jebres dirusak dan barang-barang dijarah masa.
Bahkan Sumartono dan keluarga harus mengungsi di rumah warga selama beberapa hari mengingat kondisi waktu itu sangat mencekam.
Untuk keluar rumah dan menyelamatkan diri, harus menjebol tembok rumah bagian belakang dengan dibantu warga.
Baca Juga:Kapten Timnas Indonesia U-22 Lempar Kode Ramadhan Sananta Menuju Persis Solo
Dikatakan saat hari peristiwa tersebut, ia mendapat informasi dari teman-teman Organisasi Amatir Radio Indonesia (Orari) kalau ada demo mahasiswa. Karena dulu memang sudah aktif ikut di Orari dan beberapa organisasi lainnya.
"Setiap ada demo itu saya selalu dikabari. Satu hari pas hari H itu, saya ditelepon sekitar pukul 09.00 atau 10.00 WIB, ada demo dan bilang kok ini agak seram, lebih baik jaga-jaga tutup saja karena kelihatannya mau masuk ke kota," ujar dia, Selasa (16/5/2023).
Ditelpon dan dapat kabar seperti itu, ia menelepon teman-temannya yang tinggal di Jalan Slamet Riyadi Solo agar menutup tokonya.
"Tapi telepon belum selesai terdengar suara duar, ternyata genteng rumah dilempari batu. Terus saya ditelepon Pak RW dan bilang, 'Pak Martono ngungsi ke belakang ya'," kata pria kelahiran Solo, 21 Maret 1956.
Saat kejadian itu depan rumah sudah banyak masa sambil berteriak "bakar, bakar". Karena setiap perempatan itu informasinya ada yang dibakar, ada yang bakar ban juga.
Baca Juga:Ramadhan Sananta Dirumorkan Tinggalkan PSM Makassar, Bergabung ke Persis Solo?
Untuk keluar rumah menjebol tembok bagian belakang, yang jebol itu warga pakai linggis. Karena di bagian depan rumah sudah banyak dan dikepung masa.
"RT ku, pak, tak bobolke lewat mburi, ojo metu njobo, ditutup wae. Terus bobol tembok belakang, temboknya itu empuk jadi mudah dijebol karena kuno," sambung dia.
Saat proses penyelamatan pun berlangsung dramatis, ia dan keluarga harus keluar rumah dengan lubang kecil dari tembok yang dijebol.
"Pas keluar aku ditarik kepala dulu saat keluar, terus istri, ibu, kakak jadi satu rumah. Sampai sekarang tembok yang dijebol tak lestarikan dan dikasih pintu," ceritanya.
Sumartono mengaku tidak menyangka dan tidak pernah berpikir kalau rumahnya bakal jadi sasaran saat peristiwa Mei 1998. Waktu itu rumahnya dipakai buat kantor dan bengkel.
Bahkan dalam peristiwa itu belasan ribu korban dan bangunan dirusak serta dibakar.
- 1
- 2