SuaraSurakarta.id - Perahu penyeberangan Sungai Bengawan Solo menjadi solusi atau alternatif bagi warga dua daerah, Solo dan Sukoharjo untuk melakukan aktivitas sehari-hari.
Perahu tersebut berlayar dari Kampung Beton, Kelurahan Kampung Sewu, Kecamatan Jebres, Solo ke Desa Gadingan, Kecamatan Mojolaban, Kabupaten Sukoharjo atau sebaliknya.
Meski sudah ada jembatan baik Jembatan Mojo dan Jembatan Jurug, namun warga Desa Gadingan Kecamatan Mojolaban, Sukoharjo atau warga Solo lebih memilih menyeberang naik perahu.
Karena mempersingkat jarak dan waktu meski memiliki resiko bahaya yang tinggi.
Baca Juga:Air Bengawan Solo Berubah Kondisi, Ikan-ikan Pada Teler, Warga Lamongan Serbu Sungai
Karena kalau lewat kedua jembatan tersebut harus memutar jauh. Belum lagi kalau pas macet saat pagi atau sore pasti tambah lama.
Banyak warga Gadingan dan sekitarnya yang bekerja dan sekolah di Kota Solo.
Keberadaan perahu penyeberangan di yang berada di antara Jembatan Jurug dan Jembatan Mojo sudah cukup lama. Hingga saat ini masih terus dimanfaat oleh warga setiap harinya.
"Ini jadi alternatif bagi warga. Kalau lewat Jembatan Jurug dan Jembatan Mojo jauh dan harus memutar," ujar petugas perahu penyeberangan, Sugiyono (71) saat ditemui SuaraSurakarta, Selasa (7/6/2022).
Jarak dari sini ke Jembatan Jurug itu sekitar 3,2 kilometer (km), sedangkan ke Jembatan Mojo harus menempuh jarak 2,8 km. Padahal rumahnya ada disekitar sini dan tempat kerja atau sekolah tidak jauh dari sini.
Baca Juga:Geger Penemuan Jenazah Perempuan Kondisi Sudah Bengkak Mengapung di Bengawan Solo Bojonegoro
Satu perahu ini bisa menampung sekitar 40 orang. Untuk tarif menyeberang itu per orang hanya Rp 2.000, baik itu naik motor atau sepeda.
"Tarifnya hanya Rp 2.000 per orang. Kadang juga ada yang ngasihkan lebih Rp 5.000 atau Rp 10.000, pernah juga Rp 50.000," kata Bagong, sapaan akrabnya.
Menurutnya, perahu penyeberangan Sungai Bengawan ini sudah ada cukup lama, mungkin sebelum Presiden Sukarno atau masa kerajaan.
Apalagi dulu itu Jembatan Jurug dan Jembatan Mojo belum ada, sehingga perahu jadi pilihan utama warga waktu itu.
Dulu perahunya dari kayu jati yang berukuran cukup besar, kalau sekarang kan fiber yang diatasnya dilambari tratak bambu dan bantuan dari Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Sukoharjo tahun 2020 lalu.
"Ini sudah ada lama sekali, dari cerita simbah-simbah saya. Jadi sudah turun temurun sampai generasi keempat sekarang, mulai dari simbah-simbah, bapak, terus saya," terang Warga RT 03 RW 03 Desa Gadingan, Sukoharjo ini.
Bahkan dulu itu, dari sini sampai daerah Mojo itu ada tiga perahu penyeberangan. Tapi sekarang tinggal satu yang bertahan, karena kemudian dibangun Jembatan Mojo.
Ia sudah belajar menjalankan perahu penyeberangan itu dari simbah saat usia 20 atau tahun 1972. Lama-lama jadi bisa dan setelah bapak meninggal melanjutkan.
"Mulai belajar itu tahun 1972, awalnya tidak menarik atau mendayung tapi melihat caranya, istilahnya itu jadi kernet, yang mintain uang ke penumpang," imbuh bapak lima anak ini.
Menurutnya, tidak sulit dan harus berani tidak perlu takut. Selain itu harus melihat kondisi air seperti apa, jadi tidak asal menarik. Kadang alirannya itu deras, kadang juga tidak.
Untuk menarik atau mendayung pun jangan melawan arus, tapi miring.
"Karena jejeg atau lurus pasti abot. Istilahnya itu seperti mengiris tempe miring," tandasnya.
Untuk pendapatan setiap harinya tidak menentu sekarang. Dulu setiap hari bisa dapat Rp 500.000, sekarang sekitar Rp 300.000. Satu hari itu tidak mesti berapa penumpang yang naik, sekitar 50 orang lebih yang menyeberang naik perahu.
Karena sekarang itu banyak warga yang punya sepeda motor, jadi lebih memilih memutar lewat jembatan meski jaraknya jauh.
"Dulu yang menyeberang itu ramai sekali. Sekarang yang ramai itu pagi saat mulai beraktivitas kerja atau sekolah dan sore waktunya pulang," sambungnya.
Ia mulai menyeberangkan itu pukul 04.00 WIB, buat pedagang-pedagang pasar. Kalau ramai itu pagi mulai pukul 06.00 WIB sampai pukul 10.00 WIB, kemudian pukul 15.00 WIB sampai pukul 17.00 WIB.
"Saya sudah mulai menyeberangkan itu jam 4 pagi. Biasanya sore sudah pulang, tapi pernah juga pulang sampai malam," ucap dia.
Sementara itu salah satu warga Desa Gadingan, Sukoharjo, Kentut (46) mengatakan ada perahu penyeberangan ini sangat membantu sekali.
Karena kalau lewat jembatan jaraknya jauh dan harus memutar.
"Ini sangat membantu. Pernah lewat jembatan itu ramai dan macet, memang kalau pas waktu berangkat kerja dan sekolah itu pasti ramai," tuturnya.
Diakuinya sering naik perahu penyeberangan daripada lewat jembatan kalau ke Solo.
"Tidak merasa takut, biasa saja. Pilih naik perahu daripada lewat jembatan," pungkas dia.
Kontributor : Ari Welianto