SuaraSurakarta.id - Tak banyak yang tahu jika pekerjaan meminta-minta uang di jalanan atau biasa dikenal dengan istilah pengemis memiliki asal usul yang panjang.
Diketahui, awal mula tercetusnya pengemis berasal dari salah satu tradisi di Keraton Kasunanan Surakarta. Berkat tradisi tersebutlah kemudian menjadi cikal bakal lahirnya profesi pengemis.
Melansir sebuah video di kanal youtube Bimo K.A, lahirnya pengemis berasal dari tradisi kemisan zaman Raja Susuhunan Pakubuwono X (PB X).
Saat itu hari Kamis di Kota Solo menjadi sangat penting bagi masyarakat. Pasalnya setiap hari Kamis, raja mereka berkenan keluar istana untuk menemui mereka.
Baca Juga:Viral Pasangan Pengemis Pura-pura Buta, Endingnya Dijemput Mobil Mewah
Rupanya dalam perjalanan menemui masyarakat, Susuhunan Pakubuwana X selalu membagikan udhik-udhik alias sedekah uang koin kepada masyarakat yang telah menantinya.
Mulanya masyarakat Surakarta menerima pemberian udhik-undhik dari Susuhunan Pakubuwana X sebagai berkah yang tak ternilai.
Lambat laut, orang-orang yang menerima udhik-udhik disetiap hari Kamis itu disebut wong Kemisan. Seiring berjalannya waktu istilah wong Kemisan kembali berubah nama menjadi wong ngemis.
Salah satu dokumen yang menyebut wong ngemis juga pernah ditulis oleh surat kabar bromartani pada tahun 1895.
Dalam tulisannya itu, sang raja yang keluar dari keraton dengan berjalan kaki untuk persiapan mengaji di malam jumat. Dia dikerumuni dan disembah oleh masyarakat disepanjang jalan.
Baca Juga:Fakta Video Mesum di Emperan Toko Magelang: Pelakunya Pengemis Lansia, Penyebarnya Bocah Kelas 6 SD
Susuhunan Pakubuwono X beserta para pejabat yang mengiringinya pun memberi sedekah uang koin kepada masyarakat tersebut.
Dari tradisi itulah, orang-orang yang suka menunggu pemberian sedekah raja mulai dikenal sebagai wong kemisan atau wong ngemis.
Selain itu, aktivitas pembagian udhik-udhik oleh Susuhunan Pakubuwana X juga tertulis dalam Serat Sri Karongron pada tahun 1914.
"Ketika sang raja keluar dari keraton mengelilingi kota dan menyebarkan udhik-udhik uang koin. Semua rakyat termasuk penduduk yang rumahnya berdiri dipinggir jalan sangat senang dan sering berebut pemberian udhik-udhik. Ketika mendengar suara kereta, mereka langsung mengira bahwa kereta itu menandakan kedatangan sang raja. Segeralah mereka keluar dan berjungkok di pinggir jalan menanti uang-uang disebar oleh sang raja," bunyi tulisan dalam Serat Sri Karongron tersebut.
Berkat kedermawan Susuhunan Pakubuwono X, tradisi kemisan selalu dinantikan oleh masyarakat. Sebab tidak sekadar materi, pemberian sang raja dianggap mengandung sebuah keberkahan dari Tuhan.
Setelah Susuhunan Pakubuwono X wafat pada tahun 1939. Wong kemisan atau wong ngemis tak hanya muncul pada hari Kamis. Melainkan disetiap ada keramaian diberbagai tempat dan didominasi oleh orang-orang yang tak berkecukupan.
Arti wong ngemis pada akhirnya berubah dari masyarakat yang menerima sedekah dari sang raja disetiap hari Kamis menjadi orang yang meminta-minta pemberian dari orang lain. Makna wong ngemis pun diserat ke dalam bahasa Indonesia menjadi "Pengemis".
Kamus Besar Bahasa Indonesia kemudian mendeskripsikan kata pengemis sebagai orang yang meminta-minta sedekah.
Sehingga dapat disimpulkan dari tradisi kemisan itulah pekerjaan pengemis atau orang yang meminta-minta muncul.
Kendati demikian, tradisi Kemisan yang rutin hingga detik ini di Keraton Surakarta sebagai bentuk kepedulian dari sang pemimpin kepada masyarakat yang masih hidup dalam kesusahan. Karena kewajiban mutlak seorang pemimpin yaitu mensejahterakan masyarakat tanpa pandang bulu.
Kontributor : Fitroh Nurikhsan