"Kami mendorong waktunya 12 bulan lebih rasional," katanya.
Termasuk pemberian booster untuk penyintas, kata dia, secara ilmiah seharusnya memperhatikan antibodi masing-masing individu.
"Penyintas kan jumlah virusnya beda, gejala beda, antibodi yang terbentuk juga variatif. Ada penyintas yang antibodinya tinggi, ada yang rendah. Khususnya yang tanpa gejala antibodi cenderung rendah," katanya.
Ia mengatakan individu dengan imunitas terkuat adalah orang yang pernah divaksin dan pernah terinfeksi karena memiliki antibodi ganda.
Baca Juga:Tingkatkan Imunitas Tubuh, Pemerintah Ajak Masyarakat Melakukan Vaksinasi Booster
"Kalau saya ditanya apakah booster harus diberikan kepada penyintas, saya katakan tidak harus. Namun kalau ditanya perlu atau tidaknya kita lihat kasus per kasus," katanya.
Bahkan, dikatakannya, booster bukan merupakan suatu keharusan.
"Saya lebih suka menyebut ini pilihan opsional, karena sebagian booster kan ada yang berbayar, sebagian lagi dari pemerintah," katanya.
Di sisi lain, kata dia, yang justru harus segera diselesaikan adalah pemberian vaksin dosis satu dan dua untuk sebagian masyarakat yang hingga saat ini belum tersentuh oleh imunisasi tersebut.
"Menutup tahun 2021 ada 41,82 persen penduduk tervaksinasi lengkap dan 19 persen baru dapat satu dosis. Oleh karena itu, ada 39-40 persen yang belum tervaksin sama sekali. Ini harus segera divaksin. Kalau booster untuk antisipasi yang sudah divaksin lama," demikian Tonang Dwi Ardyanto .
Baca Juga:Operasional Mobil Listrik Wisata Solo Dikritik, Gibran Beri Jawaban Menohok