SuaraSurakarta.id - Varian baru COVID-19 yang diberi nama Omicron menjadi momok penduduk dunia. Virus tersebut mulai menyebar di seluruh dunia.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebut Omicron telah ditemukan di lebih dari 60 negara. Dampaknya, pasti akan membawa risiko global, dari kesehatan dan ekonomi.
WHO menyebut sejumlah bukti menunjukkan bahwa varian baru itu mengurangi perlindungan vaksin. Namun, data klinis tentang tingkat keparahan yang disebabkannya masih terbatas.
Ketidakjelasan informasi yang cukup besar menyelimuti varian itu, yang pertama kali terdeteksi bulan lalu di Afrika Selatan dan Hong Kong, dan mutasinya memicu penularan lebih tinggi dan kasus COVID-19 lebih banyak.
Baca Juga:Varian Omicron Mengancam, Dr. Reisa Ungkap Pentingnya Vaksinasi Covid-19 Dosis Lengkap
"Risiko keseluruhan terkait varian baru yang diwaspadai, Omicron, tetap sangat tinggi untuk sejumlah alasan," kata WHO, seraya menegaskan lagi penilaian pertama mereka pada 29 November 2021 lalu.
"Dan kedua, bukti awal menunjukkan adanya potensi pelepasan imun humoral terhadap infeksi dan tingkat penularan tinggi, yang bisa menyebabkan lonjakan berikutnya dengan konsekuensi yang parah," kata WHO merujuk pada kemampuan virus mengurangi imunitas yang diberikan antibodi.
Badan PBB tersebut mengutip sejumlah bukti awal bahwa jumlah orang yang kembali terinfeksi virus itu telah meningkat di Afsel.
Meski temuan awal dari Afsel menunjukkan bahwa Omicron kemungkinan memiliki tingkat keparahan lebih rendah daripada Delta –varian yang kini dominan di dunia– dan semua kasus yang dilaporkan di kawasan Eropa bergejala ringan atau tanpa gejala, masih belum jelas sejauh mana Omicron "kurang ganas" ketimbang Delta.
"Lebih banyak data diperlukan untuk memahami tingkat keparahannya," kata WHO.
Baca Juga:Data dari Inggris Sebut Varian Omicron Menyebar Lebih Cepat daripada Varian Delta
"Bahkan jika keparahannya mungkin lebih rendah daripada varian Delta, tingkat rawat inap diprediksi akan naik sebagai akibat dari penularan yang meningkat. Lebih banyak orang yang dirawat inap bisa membebani sistem kesehatan dan memicu lebih banyak kematian."
Informasi lebih lengkap diharapkan muncul dalam beberapa pekan mendatang, kata WHO, karena ada jeda waktu antara infeksi dan akibat yang ditimbulkannya.
[ANTARA]