SuaraSurakarta.id - Warga di Klaten memprotes proyek tol Solo-Jogja. Meraka tak setuju dengan pengerukan lahan di desa mereka.
Hal itu disebabkan warga tak mendapatkan sosialisasi sebelum pengerukan proyek tol solo-jogja tersebut dilakukan.
Menyadur Solopos.com, tanah hasil pengerukan tanah tersebut digunakan untuk menguruk lahan di proyek tol Solo-Jogja.
Sebagai bentuk protes, warga memblokir akses menuju lokasi menggunakan pohon dan batu, Sabtu (4/12/2021). Lokasi lahan yang dikeruk berjarak sekitar 150 meter dari permukiman dan bersebelahan dengan kawasan Tempat Pemrosesan Akhir Sampah (TPAS) Troketon.
Baca Juga:Awas! Ada Akun WhatshApp Mengatasnamakan Bupati Klaten Minta Sumbangan
Pada Sabtu, tak ada aktivitas pengerukan dan hanya terlihat dua ekskavator terparkir. Di lahan yang didominasi tanaman jati tersebut, ada bekas lahan dilintasi alat berat. Ada lahan yang sudah dikeruk sedalam 2,5 meter sepanjang 100 meter.
Warga sekitar mengatakan lahan yang dikeruk merupakan jalan petani. Hanya, pengerukan itu menerjang lahan hak milik warga di samping jalan tersebut.
Salah satu warga, Abdul Jamil, 54, mengatakan ekskavator mulai beroperasi di kawasan tersebut sejak 2 November 2021 lalu. Sementara, pengerukan lahan sedalam 2,5 meter dilakukan sekitar dua hari lalu.
Lahan yang mulai dikeruk adalah jalan petani. Awalnya, jalan itu selebar 2 meter. Namun, setelah dikeruk, lebar jalan menjadi sekitar 4 meter. Selain menerjang lahan warga yang sudah bersertifikat, aktivitas itu juga merusak sebagian pohon jati yang ditanam petani.
“Dan itu dilakukan tanpa sepengetahuan atau izin pemilik lahan,” kata Abdul Jamil saat ditemui wartawan, Sabtu.
Baca Juga:Waduh, Nama dan Foto Bupati Cantik Klaten Dicatut untuk Penggalangan Dana
Ia mengatakan sebelumnya tak ada sosialisasi ke warga pemilik lahan terutama mereka yang tinggal di Dukuh Blasinan. Abdul Jamil menegaskan pemilik lahan menolak dan melarang aktivitas pertambangan di kawasan tersebut. Sepengetahuan warga, kawasan lahan yang ditanami jati itu bukan kawasan pertambangan. Selain itu, kawasan lahan itu menjadi pelindung warga dari kegiatan TPAS Troketon.
Setelah aksi warga memblokir akses pengerukan itu, warga ditemui kepala desa serta perwakilan pelaksana aktivitas pengerukan. Dalam pertemuan singkat tersebut, warga menuntut aktivitas pengerukan dihentikan.
“Kami meminta seluruh pemilik lahan dikumpulkan dulu. Kemudian disampaikan di sana. Keputusan apakah kegiatan ini bisa dilanjutkan atau tidak yang menyampaikan pemilik lahan,” urai dia.
Bikin Banjir
Ketua RW 016, Dukuh Blasinan, Agus Widodo, juga menjelaskan sebelumnya tidak ada sosialisasi ke warga maupun pemilik lahan. Dari hasil permintaan konfirmasi ke kepala desa, sebelumnya pelaksana kegiatan sudah menggelar sosialisasi ke pemerintah desa dan BPD di kantor kecamatan.
Agus meminta agar aktivitas pengerukan tersebut dihentikan. Pasalnya, aktivitas tersebut mulai berdampak ke sekitar kampung. Salah satunya belum lama ini limpasan air hujan masuk kampung menyusul berkurangnya resapan air. “Biasanya air tidak sampai masuk kampung. Karena resapan berkurang, air langsung mengalir ke kampung,” kata dia.
Selain itu, kawasan lahan tersebut menjadi kawasan pelindung bagi permukiman dari polusi bau yang ditimbulkan di TPAS Troketon. Jika lahan diratakan dan pohon dipangkas, bau sampah di permukiman bakal kian menyengat. “Selama ini petani berusaha semaksimal mungkin menanam pohon sebagai filter dari sampah. Tetapi kok ini mau ditebangi,” kata dia.
Kepala Desa Kaligawe, Ari Sutikno, membenarkan sebelumnya ada sosialisasi dari pelaksana kegiatan pengerukan di kantor kecamatan kepada pemerintah desa dan BPD. Kepada pemerintah desa, pelaksana mengaku sudah kula nuwun kepada pemilik lahan.
Ari menjelaskan saat sosialisasi kepada pemerintah desa, pelaksana sudah membawa izin kegiatan pengerukan dari kementerian. Tanah hasil pengerukan disebut-sebut untuk tanah uruk proyek jalan tol Solo-Jogja.
Terkait protes warga, dia menuturkan dari pertemuan singkat pelaksana kegiatan pengerukan dan warga, ada kesepakatan aktivitas pengerukan untuk sementara dihentikan. “Kami juga coba fasilitasi untuk mempertemukan antara warga pemilik lahan dengan pelaksana kegiatan,” kata dia.