SuaraSurakarta.id - Suksesi di Pura Mangkunegaran dinilai cair, bisa dari berbagai saluran, sehingga sesuai dengan pola situasional dan kontekstual yang dihadapi zaman kini.
Ada tiga nama yang muncul di antaranya putra KGPAA Mangkunegara IX GPH Bhre Cakrahutomo Wira Sudjiwo, GPH Paundrakarna Jiwa Suryanegara, serta cucu Raja Mangkunegara VIII yakni KRMH Roy Rahajasa Yamin.
Pengamat Sejarah, Raden Surojo mengatakan, melihat rekaman sejarah pola suksesi di Pura Mangkunegaran berbeda jauh dengan Keraton Surakarta Hadiningrat. Di mana di keraton, harus sesuai garis keturunan raja secara langsung. Sementara di Pura Mangkunegaran tidak menganut pola keturunan secara langsung.
"Suksesi di Mangkunegaran sesuai pada realita yang dihadapi. Yakni pola situasional. Bukan karena keturunan, bukan seperti Keraton Surakarta dengan pola garis (keturunan) langsung," ungkap dia saat diskusi 'Menyoal Suksesi di Pura Mangkunegaran. Wahyu Keprabon untuk Siapa? di Hotel Sahid Jaya, Jumat (26/11/2021).
Baca Juga:Peringatan 100 Hari Meninggalnya KGPAA Mangkunegara IX, Berlangsung Sederhana dan Khidmat
"Yang penting tidak meninggalkan tradisi keturunan Adipati Mangkunegara. Bisa putra, ponakan dan adik, atau cucu. Dewan Pinisipuh dan Punggowo Baku punya hak untuk memilihnya. Paling tidak memberi penilaian kapabilitas calon tersebut yang layak menjadi Raja Mangkunegaran X," jelasnya.
Dia mencontohkan, saat pergantian atau suksesi Raja Mangkunegaran I ke Pura Mangkunegaran II, bukan langsung putra raja. Bahkan paling mencolok adalah saat suksesi Mangkunegaran 5 ke Raja Mangkunegaran 6.
Saat itu pemilihan juga situasional, karena Mangkunegaran 6 adalah anak Mangkunegaran ke IV. Pasalnya selain jiwa militer, tetapi dikenal sosok yang sangat mumpuni secara manjerial dan pebisnis hebat kala itu.
"Mangkunegaran II bukan putra Raja Mangkunegara I. Suksesi sangat rasional. Mangkunegara 6 dilantik menduduki jabatan tatkala pada masa Mangkunegara 5 dilanda krisis ekonomi. Saat itu Raja Mangkunegara IV merintis industri (sangat maju), seorang kepala pemerintahan dan enterprenuer hebat," terang dia.
Syarat Jadi Raja
Baca Juga:Mengenakan Batik, Ini Potret Gibran Hadiri Peringatan 100 Hari Wafatnya Mangkunegara IX
Pakar Budaya UNS, Prof Dr Andrik Purwasito, DEA menjelaskan, suksesi Raja Mangkunegara IX ke X adalah bersatunya keinginan kontekstual dan situasional dengan Wahyu Keprabon. Adapun suksesi bisa dari berbagai saluran, konvensional dan non konvensial.
Dia mencontohkan, kala seorang 'pejudi' Ken Arok dan buka siapa-siap, tiba-tiba ditemukan Logawe sehingga bisa menjadi Raja Singhasari. Ia sebagai raja pertama bergelar Sri Rajasa Bathara Sang Amurwabhumi pada tahun 1222 - 1227.
"Saat itu sosok Logawe melegitimasi seorang penjudi menjadi raja. Akhirnya Ken Arok jadi Raja beneran. Logawe bilang kamu (Ken Arok) sekarang jadi Anak Wisnu. Kata Logawe begitu, bukan trah keturunankan," jelas dia.
"Tidak harus orang dalam, artinya 'rembesing madu'. Orang yang suka bertapa dan bijaksana. Saya tidak mengomentari dalam Pura. Hanya ada kebiasaan-kebiasaan yang terjadi di lingkungan Jawa yang bisa dilihat," ungkap dia.
Dia menjelaskan, Raja dan masyarakat itu keris dan warangka. Raja itu keris, sementara masyarakat itu warangka atau selubung yang terbuat dari kayu.
"Ada hubungan timbal balik di situ. Tentang sesuai situasi. Meskipun tidak punya suara yang menentukan pengganti Gusti Mangku IX, tapi ada spirit memberikan masukan. Mengingat Pura Mangkunegaran sangat luar biasa asetnya dan SDM-nya, harus dikelola dan dimaksimalkan kembali," jelasnya.
Lebih lanjut dia menjelaskan, ada sejumlah syarat Wahyu Keprabon jatuh kepada sosok calon raja. Di antaranya wicaksono atau unggul dalam pengetahuan lahir dan batin, berpandangan jernih, waskito (mampu merasakan hal yang gaib, bisa memberantas kejahatan, tutur bahasa halus seperti Dewa Surya hingga teliti dan detail seperti Dewa Bayu.
Tak berhenti sampai situ, menurutnya Wahyu Keprabon di antaranya suka bersedekah, tegar dan tegas dan berani melawan kejahatan.
"Itulah yang akan ketiban Wahyu Keprabon. Ada spirit wicaksono artinya cenderung orang yang bijaksana. Jadi jika diberikan otang sembarangan tidak mungkin, karena Wahyu Keprabon itu memilih. Istilahnya jika ada orang yang haus memberi air. Maka kalau ada yang seperti itu ya jadi Gusti Mangku ke X," tuturnya. (*)