SuaraSurakarta.id - Sofah menjadi satu-satunya orang di desanya yang tetap setia membuat gerabah, khususnya cobek atau cowek.
Perempuan tersebut berasal dari RT 2, RW 5, Kelurahan Randusari, Kecamatan, Gadingrejo. Daerah yang dulu dikenal sentra barang kerajinan gerabah.
Dia sudah 30 tahun menekuni usaha kerajinan tersebut, melewati berbagai kondisi perekonomian.
Walaupun terkadang tak mendapatkan pemasukan, dengan tekun Sofah tetap mencipta cobek yang biasa dipakai untuk wadah parcel.
Baca Juga:Wisata Lesu,Wastafeluntuk Cuci Tangan Selamatkan Ekonomi Perajin Gerabah Klipoh Magelang
Cobek terbuat dari tanah liat. Tanah yang dipilih terdiri dari dua jenis, tanah merah dan hitam. Kedua jenis tanah ini terlebih dulu dicampur dengan prosentase 70 persen tanah merah dan 30 persen tanah hitam.
Selanjutnya, mencampurkan air dan pasir hingga terbentuk adonan tanah yang siap untuk dibentuk. Tak ada cetakan yang membentuk sebuah cobek. Semua bentuk cobek berasal dari naluri Sofah.
Biasanya, pesanan akan meningkat menjelang perayaan Maulid Nabi. Dalam satu hari, Sofah bisa memproduksi 50 sampai 75 cobek. Dan semua dia kerjakan sendirian.
Pesanan datang dari berbagai daerah, seperti Winongan, Karanglo, dan Pandaan.
Cobek diminati konsumen jelang Maulid Nabi karena memiliki kekhasan yang terletak pada bagian bibir terdapat ukiran dengan motif Maulid.
Baca Juga:Sandiaga Uno Ingat Film Ghost Saat Kunjungi Desa Gerabah di Magelang
Kemudian di bagian atas cobek biasanya dihiasi buah dan ditambah pernak pernik.
Menjelang Maulid Nabi, harga yang ditetapkan Sofah tetap tidak mahal untuk ukuran zaman sekarang. Satu cobek harga ecerannya Rp2.000, tetapi kalau membeli secara borongan, menjadi lebih murah yaitu Rp1.700.
Turun temurun
Usaha membuat cobek yang ditekuni perempuan berusia 52 tahun itu merupakan usaha turun temurun.
Keterampilan tersebut didapatkan Sofah dari memperhatikan aktivitas anggota keluarganya yang sudah lebih dulu praktik.
Dia mulai berminat ketika menyaksikan mertua berjibaku dengan tanah untuk membuat cobek.
"Dulu pas saya masih usia 18 tahun. Masih punya anak satu. Kebetulan ibu mertua kok bikin cobek. Saya lihat kok seneng ya, bisa mutar-mutar dan ngasih kembangan (bisa memutar-mutar dan memberi corak bunga), ya sudah saya langsung belajar," kata dia.
Untuk menghasilkan cobek yang baik, meskipun barang ini terlihat sederhana, membutuhkan perasaan.
Dari pengalaman Sofah, membuat cobek ketika sedang banyak pikiran, hasilnya biasanya buruk.
"Bisa pletot-pletot kalau buat cobek dengan marah-marah, pusing atau lagi stres. Tapi kalau dibuat dengan gembira, sehari bisa banyak cobek yang saya buat," kata dia.
Dulu, dalam sehari, Sofah bisa memproduksi antara 100-150 cobek dalam berbagai ukuran tiap hari.
Tapi setelah usia semakin menua, ""Sekarang kaki sudah kesemutan. Tangan juga tak sekuat dulu, Jadi bisanya cuma 50 cobek sehari."
Sofah bersyukur di tengah banjir wadah berbahan plastik, hasil karyanya tetap diminati.
"Alhamdulillah, Tuhan selalu ngasih rejeki, meski saya sudah tak muda lagi. Lumayan untuk menyambung hidup mas," katanya. [Beritajatim dan Pasuruankab.go.id]