Byman mengatakan ISIS juga membuat poin-poin ini "tetapi dengan pendekatan yang jauh lebih keras".
"Bagi ISIS, terorisme adalah bagian dari perang revolusioner. Di wilayah yang mereka kuasai, mereka mengadakan eksekusi massal, pemenggalan kepala di depan umum, dan pemerkosaan. Mereka berusaha meneror penduduk setempat agar tunduk kepada mereka.

"Al-Qaeda bisa memiliki pendekatan yang sedikit lebih lembut, kalau bisa dikatakan begitu."
Antara 2014 dan 2017, ISIS memperluas wilayahnya di Suriah dan Irak, meskipun sejak itu mereka kalah dari pasukan Barat dan Kurdi dan tentara Suriah yang disokong Rusia.
Baca Juga:Menlu Retno: Indonesia Hanya Ingin Afghanistan Jadi Negara Damai
Pada Maret 2019 kekhalifahan ISIS dinyatakan runtuh setelah kehilangan wilayah terakhirnya di Suriah, namun sisa-sisa kelompok itu berkembang menjadi jaringan rahasia dan masih menjadi ancaman.
IS-K, ISIS cabang Afghanistan, melancarkan serangan di luar bandara Kabul pada 26 Agustus, yang menewaskan 170 orang. Kelompok ini juga menyerang kelompok etnis minoritas di negara itu.
Adapun Taliban mengerahkan taktik perang dan melakukan serangan terhadap pemerintah Afghanistan dan pasukan keamanan dalam beberapa pekan terakhir untuk merebut kota-kota besar dan akhirnya, ibukota Kabul.
Ada banyak laporan yang menuduh pejuang Taliban di tempat-tempat ini mengeksekusi tentara Afghanistan dan memberlakukan hukuman dan pembatasan yang keras, terutama pada perempuan.
Namun, Groppi mengatakan kelompok itu juga menguasai daerah dengan membujuk penduduk setempat, "terutama di daerah pedesaan, [mengatakan] bahwa mereka adalah solusi untuk banyak masalah negara, terutama korupsi".
Perekrutan
Baca Juga:Qatar Peringatkan Negara-negara di Dunia: Setop Isolasi Taliban
Taliban, al-Qaeda dan ISIS semuanya telah mampu merekrut orang-orang dari populasi lokal untuk memperjuangkan tujuan mereka.