SuaraSurakarta.id - Melambungnya harga kedelai membuat para produsen makanan tahu dan tempe kelimpungan. Sebab makanan tersebut menjadi wajib dicari masyarakat.
Untuk memenuhi permintaan, Rumah Tempe Srikandi Geneng, Desa Geneng, Kecamatan Prambanan, Klaten, tetap berproduksi meski harga kedelai impor melejit sekitar dua pekan terakhir.
Untuk menyiasati agar biaya produksi tak membengkak, pengelola memilih mengurangi berat tempe yang mereka produksi hingga 40 gram. Rumah Tempe Srikandi Geneng sudah beroperasi sejak 2017.
Pengelola melibatkan ibu-ibu PKK Desa Geneng untuk membuat tempe. Ada delapan ibu-ibu yang terlibat dalam proses produksi setiap harinya.
Baca Juga:Selidiki Kenaikan Harga Kedelai, Bareskrim Polri Turun Tangan
Salah satu pengelola produsen tempe di Klaten itu, Yuli, mengatakan harga kedelai melonjak selama dua pekan terakhir. Harga normal kedelai impor yang semula Rp7.000/kg naik jadi Rp10.000/kg.
Tingginya harga kedelai itu membuat pengelola menyiasati jumlah kedelai untuk membuat tempe agar biaya produksi tak membengkak. Selama ini angka produksi rumah tempe menyesuaikan permintaan konsumen.
Rata-rata per hari pengelola membutuhkan 50 kg kedelai. Namun, selama dua pekan terakhir pengelola mengurangi kedelai untuk produksi itu menjadi 10 kg per hari.
Lebih Tipis
Harga tempe yang diproduksi produsen di Klaten itu tetap sama yakni satu bungkus besar Rp3.000 meski harga kedelai naik. Namun, takaran kedelai per bungkus tempe untuk sementara waktu mereka kurangi.
Baca Juga:Harga Kedelai Meroket di Pasaran, Bareskrim Polri Turun Tangan
Saat harga kedelai belum naik, berat tempe per bungkus sekitar 250 gram. Namun, dua pekan terakhir beratnya 210 gram atau berkurang 40 gram. Alhasil, tempe yang mereka jual lebih tipis daripada sebelumnya.
“Konsumen masih menginginkan harga lama. Makanya berat kemasan tempe berkurang. sebenarnya untuk ukuran dan bentuk masih sama seperti yang biasa kami produksi namun agak tipis,” jelas Yuli dilansir dari Solopos.com di Rumah Tempe Srikandi Geneng, Selasa (5/1/2021).
Cara itu ditempuh pengelola agar produsen tempe di Prambanan, Klaten, itu tetap berproduksi serta tak mengecewakan konsumen. “Sambil berjalan sambil bertahan sepanjang ada stok kedelai kami masih berproduksi,” kata Yuli.
Yuli mengatakan selain harganya yang melonjak, kualitas kedelai belakangan juga menurun. Selama ini Rumah Tempe Srikandi Geneng mendapatkan stok kedelai impor dari penyuplai wilayah Kecamatan Prambanan.
Terseok-Seok
Menurunnya kualitas itu yakni ditemukan kedelai dengan kondisi busuk setelah dimasak. Alhasil, berat kedelai yang diolah semakin berkurang.
“Banyak yang busuk akhirnya harus disortir lagi. Yang busuk kami buang. Kata penyuplai adanya barangnya dengan kualitas itu,” tutur dia.
Pengelola Rumah Tempe Srikandi Geneng lainnya, Anik Widyastuti, mengatakan meski terseok-seok gara-gara harga kedelai mahal, produsen tempe di Klaten itu tetap berproduksi.
“Sudah komitmen kami agar produksi itu jangan sampai berhenti. Karena kalau sudah berhenti mau memulai lagi sudah awang-awangen,” jelasnya.
Anik menjelaskan rumah tempe memilih tak berproduksi dalam jumlah banyak. Produksi itu untuk melayani permintaan konsumen yang rata-rata merupakan reseler.